Rabu, 15 Juli 2015

Tangis di Malam Takbir (Oleh Dhiyana Nurliya)



Tahun ini di bulan ramadhan yang penuh kehangatan keluargaku tak lagi hangat seperti tahun-tahun sebelumnya. Terutama di awal tahun ini, musibah satu-per satu mendera keluargaku. Ayah, tlah meninggalkan kami untuk selama-lamanya.. ini merupakan goncangan untuk keluarga kami. Jika biasanya dalam berbuka puasa beliau selalu duduk di sampingku, kini tak lagi. Kerinduan yang teramat sangat dalam mengenang sosoknya yang tegar, kuat, dan tak banyak keluh kesah. Yap, sosok yang kurindukan untuk mendekap, memeluk erat bayangnya saja

. Entah, rasanya tanpa ayah sangat sulit, terutama untuk ibuku. Ibuku yang hidup dengan ayah selama lebih dari 21 tahun itu sangat terpukul, terutama ayahku yang menjadi tulang punggung keluarga. Tak kenal lelah beliau mencari nafkah untuk keluarga kami, namun buru-buru di panggil sang-khalik. Hingga aku sempat mengajukan pertanyaan kepada Tuhan: “Adilkah ini tuhan? Mengapa hanya penyakit saja engkau tak sembuhkan ayah hamba? Apa kurangnya keluarga kami Tuhan?” , hingga kupasrahkan semua nya kepada-Nya dan mengikhlaskan kepergian ayah dengan kenangan-kenangan yang tersimpan didalam fikiran ku,
            Hingga akhirnya pada lebaran kali ini kami harus menentukan budaya keluarga yang baru tanpa ayah. Jika biasanya kami selalu ke rumah nenek dari ibu dengan bersama-sama, kini hanya aku dan kakak yang harus ke sana menggantikan peran ibu dan ayah. Lalu, ibuku sendiri harus menjaga rumah serta merawat nenek dari ayah yang masih hidup. Rasanya ingin menangis sejadi-jadinya jika mengingat tahun lalu ayah masih sehat, bugar. Kini hilang dari pandangan, mungkin Allah sayang kepada ayah dengan harapan supaya tidak melakukan dosa-dosa yang mempengaruhi timbangan amal kebaikan.
            “Allahu akbar…allahu akbar..allahuakbar la ilahailallah… huallahu akbar…allahuakbar wa lillah ilham..”
            Takbir dimalam ini menggema dengan merdu nya, bersahut-sahutan di sudut desa kami.
            “Ayo, berangkat zakat! Ntar keburu kemalaman loh..udah di niati belum?” Suruh Ibuku
            “Iya, bentar lagi dandan nih!, belum”
            “Yaudah aku niat duluan aja”
            “Nawaitu an ukhrija zakatal fitri anafsi fardhu lillahi ta’ala”
            “Giliranku, Nawaitu an ukhrija zakatal fitri anafsi fardhu lillahi ta’ala”
            “Yuk, mbak” ajakku sambil menghidupkan sepeda motor
            “Yuk, Assalamu alaikum”
            “Waalaikum salam”
Kami pun berangkat zakat ke fakir miskin disekitar rumah kami. Biasanya ayah kami ikut mengantar zakat bersama kakakku, tapi kini aku dan kakak yang menggantikan peran ayah. L
Sepulang zakat aku membantu ibu mempersiapkan jajanan hari raya esok. Di sela sela kesibukan kami ibu terdiam dan berkata:
“Besok bagaimana ya? Kita bisa nggak tanpa ayah? Sungkeman nggak ada ayah lagi…” mata ibu sambil berkaca-kaca
“Sudah lah buk.. kita pasti bisa kok.. Kita harus kuat” kata kakak
“Iya buk..ya walau belum terbiasa” timpalku
“Iya, kita lihat bagaimana besok kita berlebaran tanpa ayah ya,” kata ibuku pasrah
Kami pun fokus lagi merapikan tatanan toples-toples jajan lebaran yang ditaruh di meja. Hampir 2 jam kami berkutat dengan toples yang berisi camilan serba enak itu. Jam menunjukkan pukul 21.30 lalu kamipun memutuskan untuk beristirahat, karena  esoknya kami harus bersiap untuk menunaikan sholat Idul fitri di masjid dekat rumah kami. Dengan moment yang sangat berbeda dengan tahun-tahun sebelumnya.
Tanpa Ayah.

END


           

Tidak ada komentar:

Posting Komentar