Rabu, 15 Juli 2015

Engkau Nomor Satu Bagiku,Bu (Cerpen)




Oleh : Dhiyana Nur Auliya Sari

             Aku adalah seorang gadis yang ceroboh sekaligus pelupa,  disetiap hari-hariku selalu terjadi kenakalan-kenakalan kecil yang tidak sengaja kulakukan. Hal ini memicu Ibuku untuk mengomeliku dipagi-pagi hari, untuk sekedar mengingatkanku atau memarahiku. Akupun tak ada kapok-kapoknya untuk melakukan hal serupa dan bahkan tak menyurutkan niat ibu untuk senantiasa menasihatiku lagi dan lagi. Ayahpun hanya mampu geleng-geleng kepala melihat sifatku yang pelupa dan terkesan ‘dablek’.


                 Siang hari,sepulang sekolah. Matahari terlalu terik menyinari bumi ini, sehingga tetesan keringatpun mengucur dan terasa panas. Hari ini aku tidak dijemput. Ya, karena ayahku ada keperluan diluar kota. Dan akupun terpaksa untuk membawa sepeda miniku. Hasil jeripayah mengumpulkan uang tabunganku.
                 “Na! bangun, nanti kesiangan lho..” Teriak Ibuku mengguncang kesepian dipagi hari
                 “Hmm..” gumamku singkat. Lalu derap kaki langkah kecilpun terdengar, adikku Cahya.
                 “Mbak, ayo bangun…” ucapnya seraya mengguncang-guncang tubuhku.
                 “Aduh, iya..iya! mbak bangun nih!” bentakku dengan melemparkan tangannya. Akupun beranjak meninggalkan kamarku dan melangkah pergi. Adikku yang kagetpun segera mengikuti langkahku dibelakang dan melapor kepada Ibu. Di dapur, ibuku sudah melototiku dengan berkata kalau aku harus membawa sepeda lagi untuk yang kedua kalinya. Akupun marah-marah dan tidak terima.
                 “Aduh! Aku tuh capek bu!, dari rumah kesekolah tuh 10 kilometer! Kemarin aja kakiku udah pegal-pegal!” ocehku
                 “Lho, mau gimana lagi, ayahmu kan emang belum datang. Ya,kamu harus sabar nak!”
                 “Tapi, aku….” Perkataanku terpotong
                 “Sudahlah!, kesiangan lho ntar!”
                 “Ckck..selalu!” jawabku kesal
***
                 Disekolah aku selalu disambut ramah oleh tugas yang menumpuk, ulangan dadakan, dan … tugas piket. Yah, hari selasa adalah piketku. Dan kali ini aku telat, tiba disekolahpun pukul 06.55 dan secara otomatis aku di omeli oleh teman-teman.
                 “Aduh,yana..lagi-lagi kamu telat!, kapan sih kamu itu nggak telat?” kata Arin salah satu temanku
                 “Ya..maaf deh,kan aku hari ini lagi gak diantar sama ayahku, kan aku tadi naik sepeda. Kamu saja liat aku waktu dijalan” elakku
                 “Hmm..iya ya..yaudah cepetan piket, ntar bu guru datang lagi”
                 “Iya ,iya “ jawabku
                 Disekolah, konsentrasi belajarku pecah karena rasa sakit dibadanku  sudah mulai terasa, sepanjang pelajaran aku lemas dan tidak bersemangat. Namun, temanku sudah menganjurkan untuk ke UKS , tapi aku menolak.
                 Tiada terasa, bel tanda pulang sekolah berbunyi. Akupun bergegas memasuki parkiran dipojok sisi sekolah. Dan segera membonceng sepedaku. Aku mengayuh sepeda dengan terengah-engah. Maklum, jalan menuju rumah sedikit menanjak. Dari situlah, timbul rasa sebalku kepada kedua orangtuaku yang sedikit tidak adil, karena tidak seperti para orangtua dari teman-temanku yang memberikan izin anak-anaknya untuk membawa sepeda motor kesekolah. Hingga setiba didepan rumah, aku turun dari sepeda dan membawanya masuk dengan tergesa-gesa.
                 “Assalamu alaikum!”
                 “Waalaikum salam” sahut suara dari dalam rumah. Itu adalah suara Ibu yang sedang menina bobokkan adikku yang masih TK.
                 “Jam segini kok, udah pulang na” Tanya ibuku dari dalam kamar
                 “Iya, tadi bapak dan ibu guruku ada rapat” jawabku singkat.Aku segera menuju kamar dan segera melempar tasku yang melekat dipunggungku.
                 “Huff..capeknya” batinku didalam hati. Aku segera merebahkan tubuh yang penuh penat dan keringat. Segera ku raih Handphone yang kutaruh diatas meja belajarku. Ku mainkan musik mp3, hingga akhirnya tanpa kusadari aku terlena dengan buaian lagu-lagu yang keluar dari audio handphone-ku.
***
                 Jam menunjukkan pukul 16.00 WIB. Aku terbangun mendengar omelan ibu yang menyuruhku untuk segera mengambil jemuran pakaian dibelakang rumah.
                 “Yana!..yana! bantu ibu mengangkat jemuran! Hujan akan segera turun! Ayo cepat!” teriak ibuku dari belakang
     “Huh! Ada apa sih! Ganggu orang tidur aja!” omelku didalam hati. Lalu segera kujawab
     “iya..iya! ini juga lagi jalan!”
                 Segera ku raih pakaian-pakaian yang tergantung diatas tali tambang,tempat jemuran pakaian dikeringkan. Lalu dengan wajah cemberut kutemui Ibu yang sedang terengah-terengah membawa setumpuk pakaian dikeranjang. Dan menyerahkan pakaian-pakaian itu kepada Ibu. Lalu berkatalah ibu:
                 “Huh..hampir saja, kamu sih tidur saja, gak kenal waktu!”
                 “Lho? Emang salah aku tidur?, lagipula aku tidur juga karena ketiduran. Lagian, capek tau!.Ibu tuh selalu gak ngertiin aku! Aku aja yang disuruh-suruh! Capek buk..capek!” Bentakku pada ibu yang setengah menghiraukan perkataanku yang kasar terhadapnya.
                 Aku berlalu meninggalkan Ibu yang sibuk dengan pakaian-pakaiannya. Lalu ku menuju kamar dan segera kukenakan headset dan memutar lagu mp3 dari handphone-ku. Ku tutup pintu dengan kerasnya, lalu ku letakkan tubuhku diatas kasur yang empuk.
                 Tiba-tiba pintu masuk yang terkuncipun digedor oleh seseorang dari luar sana. Lalu terdengar suara teriakan
                 “Na! Tolong Bukakan pintunya sekarang!” teriak ayahku yang sedang kehujanan diluar rumah.
                 Lalu aku beranjak dan membukakan pintu seraya menjawab “Iya sebentar”
                 “Cklek” pintu pun terbuka
                 Akupun menyalami ayah yang baru pulang dari luar kota. Lalu ibu pun menyambut kedatangan ayah. Melihat keberadaanku, tak kusangka, ucapan itupun terlontar dari mulut ibu.
                 “Tidak apa-apa nak, kamu membentak ibu, memang ibu ditakdirkan untuk pasrah dan selalu disalahkan. Jika kamu keberatan ibu dirumah ini, biarkan ibu pergi sementara waktu dirumah kakek dan nenekmu sekedar untuk melepas penat”  air matapun mengalir di pipinya. “Maafkan ibu jika ibu banyak salah , dan tidak bisa ngertiin kamu nak. Ibu memang cerewet, maafkan ibu.”
                 Lalu akupun kaget, tak kusangka perkataanku yang asal terucap itu telah menyakiti hati ibu terlalu dalam. Karena tadinya kukira ibu tidak seberapa menganggapnya serius. Akupun merasa bersalah terhadapnya.
                 “Nggak bu, jangan.. maafin aku bu..aku terlalu egois dan terbawa emosi tadi” akupun menangis dan bersujud memegangi telapak kaki kirinya. Ayah yang kebingungan pun memecah suasana
                 “Lho? Ada apa ini?“ pandangan ayahpun mengarah kepadaku “Yana! Kamu barusan membentak ibu ya?, kamu nggak ngerti dosa ya! Ayo minta maaf!” bentak ayah
                 “Nggak yah.. ampun! Aku tadi cuma…” penjelasanku pun terpotong.
                 “Sudahlah nak..itu memang nasib ibu, selalu disalahkan dan diperlakukan layaknya pembantu. Ini memang kesialan ibu” butiran airmata semakin mengucur di pelupuk mata ibuku.
                 Aku semakin dan semakin merasa sedih dan marah pada diriku sendiri. Namun berangsur-angsur semakin ku memohon permintaan maaf dari ibu dan menahan kakinya untuk tetap tinggal, maka semakin tenang pula ibu dan tidak lagi ingin pergi dari rumah. Ibu pun juga ikhlas memaafkan perkataanku yang telah menusuk perasaannya. Aku juga berjanji untuk tidak mengulanginya.
                 Jika mengingat semua jasa ibu yang telah merawatku semenjak ada dikandungannya hingga kini yang mengurusi pekerjaan rumah tangga dari memasak, membersihkan rumah,mencuci baju, hingga mengurusi keuangan keluarga. Sungguh tidak dapat terhitung semua pengorbanan yang dilakukan ibuku terhadap keluargaku. Ibuku memang benar cerewet terhadapku namun semata-mata itu juga demi kebaikanku kini dan nanti. Juga, lebih mengerti dan selalu memperdulikan keadaanku dibandingkan orang lain yang belum tentu ingin mendengarkan kata hatiku.
                 Semenjak kejadian itu pula, hubungan antara aku dan ibupun menjadi lebih baik dan lebih terbuka. Ibu pun mau menerima curahan permasalahanku dan sebaliknya aku juga mampu menerima curahan perasaan ibu. Karena keterbukaan itulah suatu keluarga menjadi penuh kehangatan dan keharmonisan. Layaknya lagu yang kudengungkan di Handphoneku. Berjudul “Number One for Me” milik Maher Zain. Ibu adalah hal terbesar yang berpengaruh dalam hidupku. Dan takkan ada artinya jika itu tanpa kehadiran ibu.

-Selesai-

Tidak ada komentar:

Posting Komentar