Kamis, 16 April 2015

Komponen Sistem Pembelajaran




Perencanaan pembelajaran adalah proses pengambilan keputusan hasil berpikir secara rasional tentang sasaran dan tujuan pembelajaran tertentu. Serta rangakaian kegiatan yang harus dilaksanakan sebagai upaya pencapaian tujuan tersebut dengan memanfaatkan segala potensi dan sumber belajar yang ada. Perencanaan pembelajaran mengarah pada proses penterjemahan kurikulum yang berlaku. Sistem pembelajaran mempunyai beberapa komponen di antaranya:
A. Siswa
Proses pembelajaran pada hakikatnya diarahkan untuk membelajarkan siswa agar dapat mencapai tujuan yang telah ditentukan. Keputusan-keputusan yang diambil dalam perencanaan pembelajaran disesuaikan dengan kondisi siswa yang bersangkutan sesuai dengan kemampuan dasar, minat dan bakat, motivasi belajar, dan gaya belajar siswa itu sendiri.
B. Tujuan
Tujuan adalah komponen terpenting dalam pembelajaran setelah komponen siswa sebagai subjek belajar. Tujuan penyelenggaraan pendidikan diturunkan dari visi dan misi lembaga pendidikan itu sendiri. Tujuan merupakan komponen penting dalam system pembelajaran. Karena tujuan mengandung arah pembelajaran, tujuan menentukan kondisi siwa yang ingin dibentuk melalui proses tersebut.
   C. Kondisi
Kondisi adalah berbagai pengalaman belajar yang dirancang agar siswa dapat mencapai tujuan khusus yang telah dirumuskan. Pengalaman belajar harus mendorong agar siswa aktif belajar baik secara fisik maupun nonfisik. Merencanakan pendidikan adalah menyediakan kesempatan pada siswa untuk belajar sesuai dengan gaya belajar mereka sendiri. Tekanan dalam menentukan kondisi belajar adalah siswa secara individual.
D. Sumber Belajar
Sumber belajar berkaitan dengan segala sesuatu yang memungkinkan siswa dapat memperoleh pengalaman belajar meliputi lingkungan fisik, bahan dan alat yang dapat digunakan, personal, petugas perpustakaan, ahli media, dan semua orang yang berpengaruh baik langsung maupun tidak langsung untuk keberhasilan dalam pengalamn belajar.
E. Hasil Belajar
Hasil belajar berkaitan dengan pencapaian dalam memperoleh kemampuan sesuai dengan tujuan khusus yang direncanakan. Jadi tugas utama guru adalah merancang instrument yang dapat mengumpulkan data tentang keberhasilan siswa mencapai tujuan pembelajaran. Pembelajaran merupakan suatu system yang kompleks yang keberhasilannya dapat dilihat dari dua aspek, yaitu aspek produk dan aspek proses.


Sebagai suatu system, pembelajaran akan dipengaruhi oleh beberapa unsure yang membentuknya. Beberapa unsur yang dapat mempengaruhi kegiatan proses pembelajaran diantaranya guru, siswa, sarana, alat, dn media, dan lingkungan.
1. Guru
     Guru merupakan komponen yang menentukan keberhasilan suatu system pembelajaran sebab guru merupakan orang yang secara langsung berhadapan dengan siswa. Sebagai perencana, guru dituntut untuk memahami secara benar kurikulum yang berlaku, karakteristik siswa, fasilitas dan sumber daya yang ada, sehingga semuanya dapat dijadikan komponen-komponen dalam menyusun rencana dan desain pembelajaran. Sebagai implementator dan desain pembelajaran, guru berperan sebagai model atau teladan bagi siswa dan sebagai pengelola pembelajaran.
2. Siswa
     Siswa adalah organism yang unik yang berkembang sesuai dengan tahap perkembangannya. Perkembangan anak adalah perkembangan seluruh aspek kepribadiannya. Tetapi tempo dan irama perkembangan masing-masing anak pada setiap aspek tidak selalu sama. Proses perkembangan dapat dipengaruhi oleh perkembangan anak yang tidak sama, dan karakteristik lain yang melekat pada diri anak.
3. Sarana dan prasarana
     Sarana adalah segala sesuatu yang mendukung secara langsung terhadap kelancaran proses pembelajaran, misalnya media pembelajaran, alat-alat pelajaran, perlengakapan sekolah, dan lain sebagainya. Prasarana adalah segala sesuatu yang secara tidak langsung dapat mendukung keberhasilan proses pembelajaran misalnya jalan menuju sekolah, penerapan sekolah, kamar kecil, dan lain sebagainya. Kelengkapan sarana dan prasarana akan dapat membantu guru dalam penyelenggaraan proses pembelajaran.
4. Lingkungan
     Ditinjau dari segi lingkungannya, ada 2 faktor yang dapat mempengaruhi proses pembelajaran yaitu factor organisasi kelas dan factor iklim social psikologis. Faktor organisasi kelas di dalamnya meliputi jumlah siswa dalam satu kelas yang merupakan aspek penting yang dapat mempengaruhi proses pembelajaran. Faktor iklim social psikologis adalah keharmonisan hubungan antara orang yang terlibat dalam proses pembelajaran yang dapat terjadi secara internal atau eksternal
Berikut ini adalah konsep dan aplikasi model-model pembelajaran aktif. Model-model pembelajaran ini dibagi menjadi bermacam-macam diantaranya adalah Cooperative learning, Problem Based Learning,  Accelerated Learning, Adult Learning, Contextual Teaching and Learning, Mastery Learning, Partisipative Teaching and Learning, dan lain sebagainya.
A. Cooperative Learning
       Gagasan lengkap tentang pendekatan praktis cooperative learning dalam konteks budaya Indonesia dikemukakan secara ringkas tetapi padat,lengkap, dan enak dibaca dalam sebuah buku kecil yang ditulis oleh Anita Lie seorang praktisi pendidikan Indonesia yang berjudul “Cooperative Learning: mempraktikkan Cooperative Learning di ruang kelas.” Sebagian besar dan isi bagian ini dirangkum dan buku tersebut.
       Aliran lama di bidang belajar dan pembelajaran lebih didasarkan pada teori tabularasa yang dikemukakan oleh John Locke yang memandang siswa sebagai kertas kosong yang siap dicoret-coret oleh gurunya. Oleh karena itu banyak pengajar yang mempraktekkan kegiatan belajar dan pembelajaran yang lebih berpusat kepada guru “teacher centered”. Akibatnya terjadi praktek-praktek belajar dan pembelajaran yang kalaupun tidak dapat disebut salah kaprah atau kesalahan paradigma, tetapi kurang optimal karena guru membuat siswa pasif dalam kegiatan belajar dan pembelajaran. Praktik belajar dan pembelajaran yang kurang kondusif bagi siswa dalam mengembangkan potensinya karena pendekatan yang salah kaprah tersebut sebagaimana digaris bawahi oleh Lie adalah:
       a. Memindahkan pengetahuan dan guru ke siswa. Guru memberikan pelajaran yang telah dikemasnya atas pertimbangan pribadinya dan siswa menerima materi banyak yang bersifat hafalan yang harus diingat oleh siswa.
       b. Mengisi botol kosong dengan pengetahuan. Perilaku mengajar seperti ini dikenal dengan istilah “jug syndrome” atau sindrom ceret air karena guru menganggap bahwa siswa adalah penerima pengetahuan yang pasif dan siap menerima apa saja yang diberikan oleh guru dan bagaimanapun cara memberikannya.
       c. Mengkotak-kotakkan siswa. Guru mengelompokkan siswa berdasarkan capaian prestasinya seperti siswa bodoh dan siswa pintar, siswa yang berhak naik kelas atau lulus atau yang harus tinggal kelas dan gagal, siswa yang berhak memperoleh pekerjaan yang layak dan siswa yang tidak berhak. Dengan pandangan seperti itu kemampuan siswa direduksi kedalam angka-angka.
B. Problem Based Learning
1. Gambaran Umum
Dalam model pembelajaran Problem-Based Learning, sering digunakan akronim PBL, belajar dan pembelajaran diorientasikan kepada pemecahan berbagai masalah terutama yang terkait dengan aplikasi materi pelajaran di dalam kehidupan nyata. Selama siswa melakukan kegiatan memecahkan masalah, guru berperan sebagai tutor yang akan membantu mereka mendefinisikan apa yang mereka tidak tahu dan apa yang mereka perlu ketahui untuk memahami dan atau memcahkan masalah. (Newbledan Cannon,111)
       Pengembangan model ini diantaranya didasari oleh:
          a. Prinsip Enquiry Learning yang memandang belajar adalah upaya untuk menemukan sendiri pengetahuan.
       b. Teori-teori psikologi belajar dan pembelajaran modern yang menjelaskan bahwa pengetahuan akan lebih diingat dan dikemukakan kembali secara lebih efektif jika belajar dan pembelajaran didasarkan dalam konteks manfaatnya di masa depan.
2. Kelebihan Problem Based Learning
Ø Dengan PBL akan terjadi pembelajaran  bermakna. Peserta didik/mahapeserta didik yang belajar memecahkan suatu masalah maka mereka akan menerapkan pengetahuan yang dimilikinya atau berusaha mengetahui pengetahuan yang diperlukan. Belajar dapat semakin bermakna dan dapat diperluas ketika peserta berhadapan dengan situasi di mana konsep diterapkan.
Ø Dalam situasi PBL, peserta     didik/mahapeserta didik mengintegrasikan pengetahuan dan ketrampilan secara simultan dan mengaplikasikannya dalam konteks yang relevan
Ø PBL dapat meningkatkan kemampuan berpikir kritis, menumbuhkan inisiatif peserta didik/mahapeserta didik dalam bekerja, motivasi internal untuk belajar, dan dapat mengembangkan hubungan interpersonal dalam bekerja kelompok.

3. Tahapan-tahapan pemecahan masalah
        Menurut Zamroni, 2008:211 menyatakan bahwa Tahapan pemecahan masalah sangat bergantung pada kompleksitas masalahnya. Untuk masalah yang kompleks karena cakupan dan dimensinya sangat luas, maka langkah-langkah pemecahan masalah dengan pendekatan akademik dapat dilakukan. Permasalahan yang sederhana dengan cakupan dan dimensi yang rela sempit dan praktis dapat dipecahkan dengan tahapan-tahapan yang sederhana dan praktis pula.
C. Konsep Accelerated Learning
Konsep cara belajar cepat diawali oleh pandangan Colin Rose dan Nicholl tentang adanya beberapa hal yang menjadi karakteristik tahun-tahun terakhir yang penuh pancaroba dari millenium II yang baru lalu. Hal tersebut merupakan tantangan yang harus dijawab oleh setiap orang tua, pendidik, pelaku bisnis dan pemerintahan. Keberhasilan pada abad mendatang akan bergantung pada sejauhmana seseorang dapat mengembangkan keterampilan-keterampilan yang tepat untuk menguasai kecepatan, kompleksitas, dan ketidakpastian yang saling berhubungan satu sama lain.
Perubahan dunia yang begitu cepat menuntut kemampuan belajar yang lebih cepat. Kompleksitas dunia yang terus meningkat menuntut kemampuan yang sesuai untuk menganalisis setiap situasi secara logis dan memecahkan masalah secara kreatif. Prioritas utama bagi lembaga pendidikan adalah mengajarkan kepada anak-anak bagaimana cara belajar dan bagaimana cara berpikir. Hanya dengan dua ketrampilan super inilah seseorang dapat mengatasi perubahan dan kompleksitas serta menjadi manusia yang secara ekonomi tidak bergantung dan tidak akan menganggur pada abad ini. Kedua keterampilan tersebut akan menghasilkan kemandirian dan kepercayaan diri.
Kemandirian merupakan kemampuan untuk mengelola cara belajar sejak dini, untuk menguasai informasi, dan untuk mengetahui bagaimana menggunakan informasi tersebut guna menghasilkan produk-produk dan jawaban-jawaban kreatif terhadap berbagaimasalah. Semua hal tersebut berimplikasi pada kebutuhan mendesak akan keharusan melakukan suatu perubahan, baik dalam apa yang dipelajari dan bagaimana ia dipelajari. Belajar bagaimana belajar menjadi sangat penting karena ketika seseorang mempelajari cara belajar, maka kepercayaan dan keyakinan dirinya akan meningkat. Ketika seseorang mempelajari cara belajar maka akan memperoleh kemampuan dasar untuk menjadi pembelajar yang mampu mengatur diri, dan kemampuan dasar untuk meningkatkan pengembangan pribadi. Selain itu juga akan memiliki kekuatan untuk berubah dari konsumen pendidikan yang pasif menjadi pengelola pembelajaran dan kehidupan yang aktif bagi diri sendiri.
Menurut Colin dan Malcolm, belajar bukan hanya untuk mengetahui jawaban-jawaban, juga bukan sekedar untuk mengetahui penggalan dari suatu batang tubuh pengetahuan. Belajar juga tidak hanya diukur dengan indeks prestasi dan nilai ujian saja. Akan tetapi belajar adalah petualangan seumur hidup, perjalanan eksplorasi tanpa akhir untuk menciptakan pemahaman personal. Petualangan tersebut haruslah melibatkan kemampuan untuk secara terus menerus menganalisis dan meningkat cara belajar, serta kemampuan menyadari proses belajar dan berpikir diri sendiri. Belajar haruslah dimulai sedini mungkin dan terus berlangsung seumur hidupnya, serta mengimplementasikan apa yang dipelajari. Seseorang akan menemukan bahwa belajar itu mudah dan menyenangkan ketika orang tersebut mampu menggunakan bentuk-bentuk kecerdasannya yang paling kuat. Hal tersebut disebabkan karena sebagian orang mungkin kurang mampu dalam suatu jenis kecerdasan. Akan tetapi karena gabungan dan paduan khusus keterampilan yang dimilikinya, dia mungkin mampu mengisi dengan baik beberapa kekurangannya secara baik.Tapi umumnya semakin baik seseorang mengembangkan kecerdasannya yang lain, maka akan semakin luwes orang tersebut memenuhi tantangan dalam kehidupan yang luas aspeknya.
Metode belajar dalam Accelerated Learning mengakui bahwa masing-masing individu memiliki cara belajar pribadi pilihan yang sesuai dengan karakter dirinya. Oleh karena itu, ketika seseorang belajar dengan menggunakan teknik-teknik yang sesuai dengan gaya belajar pribadinya, maka berarti ia telah belajar dengan cara yang paling alamiah bagi diri sendiri. Sebab, yang alamiah menjadi lebih mudah, dan yang lebih mudah menjadi lebih cepat, itulah alasan Colin Rose dan Malcolm J. Nicholl menyebutnya cara belajar cepat. Ketika para guru menggunakan cetak biru enam langkah yang sama, maka mereka akan menjamin bahwa pengalaman belajar adalah lengkap. Dan ketika para guru bekerja dalam urutan langkah-langkah tersebut, maka mereka akan merasakan bahwa itu menyenangkan, efektif, dan cepat.
Kecerdasan hanyalah sehimpunan kemampuan dan ketrampilan. Seseorang dapat mengembangkan dan meningkatkan kecerdasannya dengan belajar menggunakan kemampuannya sendiri secara penuh. Strategi Cara Belajar Cepat akan memberikan “ sarana usaha & rdquo; untuk mengembangkan keterampilan-keterampilan ini. Dan berikut ini penulis akan memaparkan lebih jauh beberapa strategi cara belajar cepat.
Strategi Belajar Accelerated Learning
Strategi cara belajar cepat dalam Accelerated Learning merupakan paduan dari metode-metode yang dibagi menjadi enam langkah dasar yang dapat dingat dengan mudah dengan menggunakan singkatan M; A; S; T; E; R. Kata ini diciptakan oleh pelatih terkemuka Cara Belajar Cepat (CBC) Jayne Nicholl.
Adapun pengertian dari M-A-S-T-E-R menurut Colin Rose dan Malcolm J. Nicholl adalah sebagai berikut:
1. M adalah Motivating Your Mind (Memotivasi Pikiran)
Dalam memotivasi pikiran maka seseorang harus berada dalam keadaan pikiran yang “kaya akal”, Itu berarti harus dalam keadaan relaks, percaya diri dan termotivasi. Jika mengalami stress atau kurang percaya diri atau tidak dapat melihat manfaat dari sesuatu yang dipelajari, maka ia tidak akan bisa belajar dengan baik. Memiliki sikap yang benar terhadap belajar tentang sesuatu adalah prasyarat mutlak. Seseorang harus mempunyai keinginan untuk
memperoleh keterampilan atau pengetahuan baru, harus percaya bahwa dirinya betul-betul mampu belajar, dan bahwa informasi yang didapatkan akan mempunyai dampak yang bermakna bagi kehidupannya. Jika belajar hanya dianggap sebagai tugas belaka, maka besar kemungkinannya akan mengalami kegagalan. Maka dari itu, sebagai langkah penting pertama untuk memulai proses belajar, harus dapat menemukan AGB (Apa Gunanya Bagiku). Menanyai diri sendiri, memperdebatkan informasi yang ada, menanyai diri sendiri dengan pertanyan seperti “Apakah ini benar? Apakah ini dapat dimengerti?” adalah bagian-bagian yang esensial dari proses belajar, karena pertanyaan-pertanyaan tersebut dapat menjaga fokus perhatian.
2. A adalah Aquiring The Information (Memperoleh Informasi)
Dalam belajar seseorang perlu mengambil, memperoleh dan menyerap fakta-fakta dasar subyek palajaran yang dipelajari melalui cara yang paling sesuai dengan pembelajaran inderawi yang disukai. Walaupun ada sejumlah strategi belajar yang harus diimplementasikan oleh setiap orang. Tetapi juga ada perbedaan pokok sejauh mana seseorang perlu melihat, mendengar, atau melibatkan diri secara fisik dalam proses belajar. Dengan mengidentifikasi kekuatan visual, auditori dan kinestetik, maka seseorang askan dapat memainkan berbagai strategi yang menjadikan pemerolehan informasi lebih mudah daripada sebelumnya. Ada beberapa strategi yang ditawarkan Colin dan Malcolm dalam memperoleh informasi agar lebih mudah :
1.      Dapatkan gambaran yang lebih menyeluruh tentang suatu obyek yang dimaksudkan.
Otak atau pikiran mampu merasakan keseluruhan dan sebagian dari suatu hal secara bersamaan. Otak secara aktif sibuk dalam “pembuatan makna”, yaitu mengaitkan informasi baru dengan pengetahuan sebelumnya, sementara secara bersamaan memisahkan informasi ke dalam tempatnya masing-masing. Misalnya dalam membaca sebuah buku, cobalah membuka sekilas-sekilas seluruh halamannya. Catatlah (dalam hati) tajuk-tajuk bab, sub-sub tajuk bab, dan ilustrasi. Berhentilah sejenak, kemudian baca cepat suatu bagian yang benar-benar menarik perhatian. Inilah cara efektif untuk mulai belajar.
b. Kembangkan gagasan inti
Setiap subyek pasti memiliki gagasan inti atau gagasan pokok. Dengan memahami gagasan inti, segala sesuatunya yang lain akan mudah dimengerti. Sekali bisa memahami gagasan pokoknya, seluruh subyeknya akan menjadi menarik.
c. Buat sketsa dari apa yang telah diketahui
Dalam memulai proses belajar perlu membuat beberapa catatan tentang apa yang telah diketahui yang berkaitan dengan apa yang akan dipelajari. Pertama-tama adalah mencatat apa yang telah diketahui. Barulah kemudian mencatat apa saja yang dibutuhkan untuk menemukan lebih banyak informasi yang terkait dengannya. Ini akan mendorong untuk mulai merumuskan pertanyaanpertanyaan dalam pikiran, kemudian mulai mencari jawaban-jawabannya dan akhirnya akan melibatkan sepenuhnya seseorang dalam proses belajarnya.
d. Bagi materi menjadi bagian-bagian kecil
Banyak pelajar yang gagal sebelum memulai belajar karena merasa apa yang sedang dilakukan sangar membebani. Untuk mengatasi hal ini adalah dengan memecah-mecah apa yang sedang dipelajari ke dalam bagian-bagian kecil. Dengan mendapatkan informasi bagian per bagian akan memperoleh sukses kecil yang berkesinambungan tanpa tekanan mental.


e. Bertanyalah terus
Dengan mempertanyakan terus apa yang belum diketahui akan membuat pikiran tetap fokus, dengan mencari dan menemukan jawaban dari pertanyaan-pertanyaan yang disusun akan menjaga ketertarikan terhadap subyek yang dipelajari.
f. Kenali gaya belajar sendiri
Walaupun masing-masing peneliti menggunakan istilah yang berbeda dan menemukan berbagai cara untuk mengatasi gaya belajar seseorang, telah disepakati secara umum adanya dua kategori utama tentang bagaimana kita belajar.
Pertama, bagaimana kita menyerap informasi dengan mudah dan kedua, cara kita mengatur dan mengolah informasi tersebut. Gaya belajar seseorang adalah kombinasi dari bagaimana ia menyerap, dan kemudian mengatur serta mengolah informasi.
Jika seseorang akrab dengan gaya belajarnya sendiri, maka dapat mengambil langkah-langkah penting untuk membantu agar belajar lebih cepat dan lebih mudah. Pada awal pengalaman belajar, salah satu di antara langkah-langkah pertama adalah mengenali modalitas seseorang sebagai modalitas visual, auditorial, atau kinestetik. Seperti yang telah diusulkan istilah-istilah ini, orang visual belajar dari apa yang mereka lihat, pelajar auditorial belajar melalui apa yang mereka dengar, dan pelajar kinestetik belajar lewat gerak dan sentuhan. Walaupun masing-masing dari kita belajar dengan menggunakan ketiga modalitas ini pada tahapan tertentu, kebanyakan orang lebih cenderung pada salah satu di antara ketiganya. Mengidentifikasi dan memahami belajar sendiri dan gaya-gaya belajar orang lain, akan membuka pintu untuk meningkatkan kinerja dan prestasi serta memperkaya pengalaman dalam setiap aspek kehidupan. Seseorang akan mampu menyerap informasi lebih cepat dan mudah, dapat mengidentifikasi dan mengapresiasi cara yang paling disukai untuk menerima informasi, dapat berkomunikasi jauh lebih efektif dengan orang lain dan memperkuat pergaulan dengan orang lain.
3. S adalah Searching Out the Meaning (Menyelidiki Makna)
Mengubah fakta ke dalam makna adalah unsur pokok dalam proses belajar. Menanamkan informasi pada memori mengharuskan seseorang untuk menyelidiki makna seutuhnya secara seksama dengan mengeksplorasi bahan subyek yang bersangkutan. Mengubah fakta menjadi makna adalah arena di mana ke delapan kecerdasan berperan aktif. Setiap jenis kecerdasan adalah sumber daya yang bisa diterapkan ketika mengeskplorasi dan menginterpretasi fakta-fakta dari materi pelajaran. Teori Delapan Kecerdasan dikemukakan oleh Gardner, yang secara garis besarnya adalah sebagai berikut :
1) Kecerdasan Linguistik (bahasa), yaitu kemampuan membaca, menulis, dan berkomunikasi dengan kata-kata atau bahasa.
2) Kecerdasan Logis-Matematis, adalah kemampuan berpikir (menalar) dan menghitung, berpikir logis dan sistematis.
3) Kecerdasan Visual-Spasial, adalah kemampuan berpikir menggunakan gambar, membayangkan berbagai hal pada mata pikiran.
4) Kecerdasan Musikal, adalah kemampuan mengubah atau menciptakan musik, dapat bernyanyi dengan baik, atau memahami dan mengapresiasi musik.
5) Kecerdasan Kinestetik–Tubuh, adalah kemampuan menggunakan tubuh secara terampil dalam memecahkan masalah, menciptakan produk atau mengemuka-kan gagasan dan emosi.
6) Kecerdasan Interpersonal (sosial), adalah kemampuan bekerja secara efektif dengan orang lain, berhubungan dengan orang lain dan memperlihatkan empati dan pengertian, memperhatikan motivasi dan tujuan mereka.
7) Kecerdasan Intrapersonal, yaitu kemampuan manganalisis diri sendiri, mampu merenung dan menilai prestasi diri, serta mampu membuat rencana dan menyusun tujuan yang hendak dicapai.
8) Kecerdasan Naturalis, yaitu kemampuan mengenal flora dan fauna, melakukan pemilahan-pemilahan runtut dalam dunia kealaman, dan menggunakan kemampuan ini secara produktif.
Dengan menggunakan semua jenis kecerdasan tersebut akan mendorong seseorang berpikir dalam cara baru, mampu menghidupkan informasi, menjadikannya mudah diingat, memungkinkan seseorang menginterpretasikan fakta, mengubahnya dari pengetahuan permukaan menjadi pemahaman mendalam, mengaitkan yang baru dengan yang sudah diketahui, membandingkan, menarik kesimpulan, dan menjadikan semua dapat digunakan dan bermakna bagi diri sendiri.
4. T adalah Triggering the Memory (Memicu Memori)
Memori menjadi bersifat menetap atau semestara, sangat tergantung pada bagaimana kekuatan informasi untuk pertama kalinya pada otak. Itulah sebabnya mengapa sangat penting untuk belajar dengan cara melibatkan indra pendengaran, penglihatan, berbicara dan bekerja, serta yang melibatkan emosi-emosi positif. Semua faktor tersebut membuat memori menjadi kuat. Di samping setiap orang memiliki berbagai tipe kecerdasan yang berbeda, mereka juga memiliki daya ingat (kemampuan mengingat) yang berbeda pula. Sebagian orang sangat baik dalam mengingat nama, wajah, atau angka, namun tidak ketiga-tiganya sekaligus. Akan tetapi sebenarnya setiap jenis memori dapat ditingkatkan dengan menggunakan metode pelatihan yang benar.
E. Memahami Cara Belajar Orang Dewasa (Adult Learning)
Belajar selalu menjadi kebutuhan utama dalam kehidupan manusia. Karena belajar merupakan suatu cara untuk menggapai cita-cita. Kadang, belajar dianggap remeh oleh sebagian orang , tak jarang banyak yang gagal dalam mencapai cita-citanya. Cara belajar setiap orang pun berbeda, hal ini dapat didasari oleh beberapa aspek seperti, tingkat pendidikan, dan cara berpikir.
Masalah yang terdapat dari skenario adalah kesulitan cara belajar dari seorang anak yang baru lulus dari SMA dan ingin melanjutkan ke Universitas. Tentu saja cara belajarnya masih terpaku dangan cara belajar semasa sekolah dimana pemikirannya hanya terbatas pada apa yang diberikan pengajar. Hal ini sangat berbeda dengan cara belajar seorang mahasiswa atau dapat dikatakan “cara belajar orang dewasa”.
Dari hasil penelitian, Linderman mengidentifikasi beberapa asumsi tentang pembelajar orang dewasa yang dijadikan fondasi teori belajar orang dewasa yaitu sebagai berikut :
1. Pembelajar orang dewasa akan termotivasi untuk belajar karena kebutuhan dan minat dimana belajar akan memberikan kepuasan
2. Orientasi pembelajar orang dewasa adalah berpusat pada kehidupan, sehingga unit-unit pembelajar sebaiknya adalah kehidupan nyata (penerapan) bukan subject matter
3. Pengalaman adalah sumber terkaya bagi pembelajar orang dewasa, sehingga metode pembelajaran adalah analisa pengalaman (experiential learning)
4. Pembelajaran orang dewasa mempunyai kebutuhan yang mendalam untuk mengarahkan diri sendiri (self directed learning), sehingga peran guru sebagai instruktur
5. Perbedaan diantara pembelajar orang dewasa semakin meningkat dengan bertambahnya usia, oleh karena itu pendidikan orang dewasa harus memberi pilihan dalam hal perbedaan gaya belajar, waktu, tempat dan kecepatan belajar
Untuk menyeimbangi cara belajar ini, diperlukan pemikiran yang kritis karena Kemampuan berpikir kritis merupakan kemampuan yang sangat esensial untuk kehidupan, pekerjaan, tingkatan pendidikan dan berfungsi efektif dalam semua aspek kehidupan lainnya.
Menurut Halpen (1996), berpikir kritis adalah memberdayakan keterampilan atau strategi kognitif dalam menentukan tujuan. Pendapat senada dikemukakan Anggelo (1995: 6), berpikir kritis adalah mengaplikasikan rasional, kegiatan berpikir yang tinggi, yang meliputi kegiatan menganalisis, mensintesis, mengenal permasalahan dan pemecahannya, menyimpulkan, dan mengevaluasi. Dan hanya bisa terjadi ketika seseorang itu sudah menerapkan cara belajar orang dewasa dalam hidupnya. Berpikir kritis juga merupakan salah satu proses berpikir tingkat tinggi yang dapat digunakan dalam pembentukan sistem konseptual siswa. Menurut Ennis (1985: 54), berpikir kritis adalah cara berpikir reflektif yang masuk akal atau berdasarkan nalar yang difokuskan untuk menentukan apa yang harus diyakini dan dilakukan.
Karakteristik yang berhubungan dengan berpikir kritis, dijelaskan Beyer (1995: 12-15) secara lengkap dalam buku Critical Thinking, yaitu:
1. Watak (dispositions)
Seseorang yang mempunyai keterampilan berpikir kritis mempunyai sikap skeptis, sangat terbuka, menghargai sebuah kejujuran, respek terhadap berbagai data dan pendapat, respek terhadap kejelasan dan ketelitian, mencari pandangan-pandangan lain yang berbeda, dan akan berubah sikap ketika terdapat sebuah pendapat yang dianggapnya baik.
2. Kriteria(criteria)
Dalam berpikir kritis harus mempunyai sebuah kriteria atau patokan. Untuk sampai ke arah sana maka harus menemukan sesuatu untuk diputuskan atau dipercayai. Meskipun sebuah argumen dapat disusun dari beberapa sumber pelajaran, namun akan mempunyai kriteria yang berbeda. Apabila kita akan menerapkan standarisasi maka haruslah berdasarkan kepada relevansi, keakuratan fakta-fakta, berlandaskan sumber yang kredibel, teliti, tidak bias, bebas dari logika yang keliru, logika yang konsisten, dan pertimbangan yang matang.
3. Argumen(argument)
Argumen adalah pernyataan atau proposisi yang dilandasi oleh data-data. Keterampilan berpikir kritis akan meliputi kegiatan pengenalan, penilaian, dan menyusun argumen.
4. Pertimbanganataupemikiran(reasoning)
Yaitu kemampuan untuk merangkum kesimpulan dari satu atau beberapa premis. Prosesnya akan meliputi kegiatan menguji hubungan antara beberapa pernyataan atau data.
5. Sudutpandang(pointofview)
Sudut pandang adalah cara memandang atau menafsirkan dunia ini, yang akan menentukan konstruksi makna. Seseorang yang berpikir dengan kritis akan memandang sebuah fenomena dari berbagai sudut pandang yang berbeda.
6. Prosedur penerapan kriteria (procedures for applying criteria)
Prosedur penerapan berpikir kritis sangat kompleks dan prosedural. Prosedur tersebut akan meliputi merumuskan permasalahan, menentukan keputusan yang akan diambil, dan mengidentifikasi perkiraan-perkiraan.

Perbedaan Sistem Pembelajaran Kurikulum
Kurikulum merupakan “jalur pacu” atau “kendaraan” untuk mencapai tujuan pendidikan dan kompetensi lulusan dari suatu program studi. Untuk itu kompetensi yang dimiliki oleh lulusan dan kurikulum dari suatu program studi perlu dirumuskan sesuai dengan tujuan pendidikan dan tuntutan kompetensi lulusan, sehingga lulusan program studi tersebut memiliki keunggulan komparatif di bidangnya.Dalam penyusunan kurikulum program studi perlu dipikirkan agar keluaran (outcomes) yang diharapkan, sasaran (goals), dan tujuan (objectives) pendidikan yang akan dicapai kurikulum tersebut, tidak memuat nilai-nilai dasar yang cepat usang dan/atau tidak relevan, hal seperti ini disebut sabretoothed curriculum.

F. Pembelajaran Kontekstual atau Contextual Teaching and Learning (CTL)
1.Latar Belakang Pengembangan Pembelajaran Kontekstual
   Pembelajaran yang berorientasi pada penguasaan materi dianggap gagal menghasilkan peserta didik yang aktif, kreatif, dan inovatif. Peserta didik berhasil “mengingat” jangka pendek, tetapi gagal dalam membekali peserta didik memecahkan persoalan dalam kehidupan jangka panjang. Oleh karena itu, perlu ada perubahan pendekatan pembelajaran yang lebih bermakna sehingga dapat membekali peserta didik dalam menghadapi permasalahan hidup yang dihadapi sekarang maupun yang akan datang. Pendekatan pembelajaran yang cocok untuk hal di atas adalah pembelajaran kontekstual (CTL).
Pendekatan kontekstual (CTL) merupakan konsep belajar yang beranggapan bahwa anak akan belajar lebih baik jika lingkungan diciptakan secara alamiah, artinya belajar akan lebih bermakna jika anak “bekerja” dan “mengalami” sendiri apa yang dipelajarinya, bukan sekedar “mengetahuinya.” Pembelajaran tidak hanya sekadar kegiatan mentransfer pengetahuan dari guru kepada siswa, tapi bagaimana siswa mampu memaknai apa yang dipelajari itu. Oleh karena itu, strategi pembelajaran lebih   utama dari sekedar hasil. Dalam hal ini siswa perlu mengerti apa makna belajar, apa manfaatnya, dalam status apa mereka, dan bagaimana mencapaianya. Mereka menyadari bahwa apa yang dipelajari akan berguna bagi kehidupannya kelak.Dengan demikian, mereka akan belajar lebih semangat dan penu kesadaran.
2. Ciri-ciri Pembelajaran Kontekstual
            Menurut Kunandar, (2007:298) cirri-ciri pembelajaran kontekstual antara lain:
Ø  Adanya kerjasama antar semua pihak;
Ø  Menekankan pentingnya pemecahan masalah atau problem;
Ø  Bermuara pada keragaman konteks kehidupan siswa yang berbeda-beda
Ø  Saling menunjang.
Ø  Menyenangkan, tidak membosankan
Ø  Belajar dengan bergairah
Ø  Pembelajaran terintegrasi
Ø  Menggunakan berbagai sumber
Ø  Siswa aktif
Ø  Sharing dengan teman
Ø  Siswa kritis, guru kreatif
Ø  Dinding kelas dan lorong-lorong penuh dengan hasil karya siswa, peta-peta gambar
Ø  Laporan kepada orangtua bukan hanya rapor, tetapi hasil karya siswa, laporan hasil praktikum, karangan siswa, dan sebagainya.
Tabel 6.3. Perbedaan CTL dan Tradisional
No.
CTL
Tradisional
1
Menyandarkan pada memori spasial (pemahaman makna)
Menyandarkan pada hapalan
2
Pemilihan informasi berdasarkan kebutuhan siswa
Pemilihan informasi ditentukan oleh guru
3
Siswa terlibat secara aktif dalam proses pembelajaran
Siswa secara pasif menerima informasi
4
Pembelajaran dikaitkan dengan kehidupan nyata/masalah yang disimulasikan
Pembelajaran sangat abstrak dan teoritis
5
Selalu mengaitkan informasi dengan pengetahuan yang telah dimiliki siswa.
Memberikan tumpukan informasi kepada siswa sampai saatnya diperlukan
6.
Cenderung mengintegrasikan beberapa bidang
Cenderung terfokus pada satu bidang (disiplin) tertentu
7.


Siswa menggunakan waktu belajarnya untuk menemukan, menggali, berdiskusi, berpikir kritis, atau mengerjakan proyek dan pemecahan masalah (melalui kerja kelompok)
Waktu belajar siswa sebagian besar dipergunakan untuk mengerjakan buku tugas, mendengar ceramah, dan menigisi latihan yang membosankan
8.
Perilaku dibangun atas kesadaran sendiri
Perilaku dibangun atas kebiasaan
9.
Keterampilan dikembangkan atas dasar pemahaman.
Ketrampilan dikembangkan atas dasar latihan.
10.
Hadiah dari perilaku baik adalah kepuasan diri.

Hadiah dari perilaku baik adalah pujian atau nilai (angka) rapor.

G. Belajar Tuntas (Mastery Learning)
            Menurut pendapat yang tradisional, belajar hanyalah dianggap sebagai penambahan dan pengumpulan sejumlah ilmu pengetahuan. Pendapat ini terlalu sempit dan sederhana serta hanya berpusatpada mata pelajaran belaka. Belajar tidak hanya sekadar mengumpulkan ilmu pengetahuan, tetapi belajar itu lebih menekankan pada perubahan pada individu yang belajar. Hal ini seperti yang dikatakan oleh Lester D. Crow & Alice Crow dalam Mulyasa (2005) dalam Kunandar (2007), bahwa belajar adalah perubahan individu dalam kebiasaan, pengetahuan, dan sikap. Menurut definisi ini seseorang mengalami proses belajar kalau ada perubahan dari tidak tahu menjadi tahu, dari tida bisa menjadi bisa, dari kurang baik menjadi baik Menurut Kamus Umum Bahasa Indonesia, belajar adalah berusaha (berlatih dan sebagainya) supaya mendapat sesuatu kepandaian.
            Hakikat belajar adalah upaya memfasilitasi individu secara sistematik dan bertujuan dengan menetapkan strategi berdasarkan kondisi dan hasil yang diharapkan agar muncul prakarsa tindak belajar. Hakikat belajar itu Universal, Menurut Unesco 1996: Hakikat belajar adalah:
v  Learn to know adalah suatu proses pembelajaran yang memungkinkan peserta didik menghayati dan akhirnya dapat merasakan serta dapat menerapkan cara memperoleh pengetahuan, suatu proses yang memungkinkan tertanamnya sikap ilmiah, yaitu sikap ingin tahu dan selanjutnya menimbulkan rasa mampu untuk selalu mencari jawaban atas masalah yang dihadapi secara ilmiah. Terus majunya iptek di dunia Barat, tempat lahirnya ilmu pengetahuan modern, tidak lain karena peserta didik di negara-negara tersebut dapat menghayati proses pembelajaran sampai tingkatan “joy of discovery” Jelas, bahwa untuk dapat menciptakan proses pembelajaran sampai tingkatan ini, diperlukan sarana dan prasarana yang memadai, guru yang professional, system evaluasi yang terus menerus, komprehensif dan objektif, serta suasana sekolah yang demokratis.
v  Learn to do   (Belajar melakukan)
Sasaran akhir dari diterapkannya pilar ini adalah lahirnya generasi muda yang dapat bekerja secara cerdas dengan memanfaatkan Iptek. Tujuan akhir dari upaya pendidikan adalah penguasaa seni menggunakan ilmu pengetahuan. Ini sangat relevan dalam “technology based economy” suatu masyarakat yang tenaga kerjanya tidak cukup hanya menguasai ketrampilan motorik yang mekanistik, tetapi dituntut kemampuan untuk melaksanakan pekerjaan-pekerjaan seperti “controlling, monitoring, maintaining, designing, dan organizing” Oleh karena itu, proses sifatnya “learning to do” ini memerlukan susasana atau situasi pembelajaran yang memnungkinkan peserta didik menghadapi masalah untuk dipercahkan dengan menggunakan Iptek yang secara teori telah dipelajari
v  Learn to be  (Belajar untuk menjadi orang lain) Setiap individu didorong untuk berkembang dan mengaktualisasikan diri. Dengan learning to do seseorang akan mengenal jati diri, memahami kemampuan dan kelemahannya dengan kompetensi-kompetensinya akan membangun pribadi yang utuh.
v  Learn to live together (Belajar untuk hidup bersama) Belajar ini ditekankan seseorang atau pihak yang belajar mampu hidup bersama, dengan memahami orang lain, sejarahnya, budayanya, dan mampu berinteraksi dengan orang lain secara harmonis.
Jadi , belajar adalah suatu aktivitas yang mengharapakan perubahan tingkah laku (behavioral change) pada diri individu yang belajar. Perubahan tingkah laku terjadi karena usaha individu yang bersangkutan. Belajar selalu melibatkan tiga hal yang pokok, yaitu adanya perubahan tingkah laku, sifat perubahan relative permanen, dan perubahan tersebut disebabkan oleh interaksi dengan lingkungan, bukan oleh proses kedewasaan ataupun perubahan-perubahan kondisi fisik yang temporer sifatnya Oleh karena itu pada prinsipnya belajar adalah proses perubahan tingkah laku sebagai akibat dari interaksi antara siswa dengan sumber-sumber belajar, baik sumber yang didesain maupun yang dimanfaatkan. Proses belajar tidak hanya terjadi karena adanya interaksi antara siswa dengan guru. Hasil belajar yang maksimal dapat pula diperoleh lewat interaksi antara siswa dengan sumber-sumber belajar lainnya.


H. Partisipative Teaching and Learning (Pembelajaran Partisipatif)
   Pembelajaran Partisipatif (Partisipative Teaching and Learning) merupakan model pembelajaran dengan melibatkan peserta didik secara aktif dalam perencanaan, pelaksanaan, dan evaluasi pembelajaran.
   Dengan meminjam pemikiran Knowles, (E. Mulyasa,2003) menyebutkan indicator pembelajaran partisipatif yaitu:
1. adanya keterlibatan emosional dan mental peserta didik
2. Adanya kesediaan peserta didik untuk memberikan kontribusi dalam pencapaian tujuan
3. Dalam kegiatan belajar terdapat hal yang menguntungkan peserta didik.
            Pengembangan pembelajaran partisipatif dilakukan dengan prosedur berikut:
1. Menciptakan suasana yang mendorong peserta didik siap belajar
2. Membantu peserta didik menyusun kelompok, agar siap belajar dan membelajarkan
3. Membantu peserta didik untuk mendiagnosis dan menemukan kebutuhan belajarnya
4. Membantu peserta didik menyusun tujuan belajar
5. Membantu peserta didik merancang pola-pola pengalaman belajar
6. Membantu peserta didik melakukan kegiatan belajar
7. Membantu peserta didik  melakukan evaluasi diri terhadap proses dan hasil belajar.
I. Pengertian Belajar Kolaboratif
            Konsep belajar kolaboratif sering diidentifikasikan dengan konsep belajar Kooperatif, tetapi ada yang secara tegas membedakan antara keduanya. Pendukung konsep kooperatif Slavin (1990:2) mengatakan belajar kooperatif mengacu pada variasi metode mengajar dimana pebelajar bekerja dalam kelompok-kelompok kecil, saling membantu belajar materi pelajaran, berdiskusi dan saling adu argumentasi, saling mengases pengetahuan-pengetahuan baru dan dapat saling mengsisi kekurangan pengertian yang dialami.
            Keberhasilan diukur dari kemampuan mereka untuk meyakinkan bahwa tiap-tiap individu telah menangkap pokok-pokok materi dan ide-ide kunci yang diajarkan. Meskipun kooperatif bukan ide baru dalam pendidikan, tetapi hingga kini masih sedikit pengajar-pengajar menggunakan dan hanya untuk tujuan-tujuan tertentu misalnya hanya untuk kegiatan tugas proyek atau membuat laporan tugas bersama. Hasil penelitian terdahulu telah mengidentifikasikan bahwa belajar kooperatif dapat digunakan secara efektif pada berbagai jenjang pendidikan untuk berbagai jenis isi pengajaran, mulai yang matematis hingga membaca, science, dari ketrampilan dasar hingga pemecahan masalah yang kompleks. Selain itu dapat digunakan sebagai cara utama pengajar untuk mengorganisasikan pengajaran di kelas.
             Para ahi lain berpandangan, dalam belajar kooperatif belum tentu ada peristiwa kolaboratif diperlukan suasana kerjasama atau kooperatif. Berikut pandangan-pandangan itu memperkuat perbedaan-perbedaan kolaboratif terhadap kooperatif.
            Pembelajaran kolaboratif menurut Totten, Sills, Digby, & Russ (1991) bukan pendekatan yang baru, berbagai variasinya sudah digunakan dalam kelas sejak awal 1990-an dan kini semakin menarik perhatian para ahli pendidikan, sejak munculnya bukti keberhasilan bukan buah dari kemampuan individu tetapi justru dari paradigma ketergantungan (interdependensi) Stephen R. Covey, 1997:38).
            Vygotsky (1981) juga memandang pendidikan sebagai usaha sosial. Postulatnya mengatakan bahwa sebelum berbagai fungsi mental diinternalisasikan, untuk itu harus dimulai dari tahapan eksternal. Maka dari itu interaksi sosial merupakan petunjuk penting untuk internalisasi yang bermakna. Teori Piaget (1969) tentang epistemologi genetic menyatakan pentingnya interaksi dengan teman sebaya sebagai sumber stimulasi kognitif beserta pengembangannya.
            Kesimpulannya, bahwa belajar kolaboratif  merupakan intensitas yang lebih tinggi kadarnya daripada belajar kooperatif. Secara fisik belajar kolaboratif  tak ada beda bentuk maupun formulanya dengan belajar kooperatif, yang membedakan terletak pada intensitas interaksi, isi kegiatan dan implikasi yang ditimbulkannya bagi setiap anggota kelompok belajar yaitu adanya rasa saling ketergantungan dan tanggung jawab yang ditopang oleh kemandirian dari setiap individu yang terlibat dalam belajar melalui interaksi sosial. Semua sifat dan bentuk serta karakteristik belajar kooperatif merupakan prakondisi belajar kolaboratif.
            Mahnaz Moallem (2003:86) mengidentifikasi 4 (empat) tipe pentingnya kerjasama kolaboratif pemecahan masalah dalam kelompok yang dirangkum dari beberapa penelitian antara lain:
            1) Menumbuhkan tanggung jawab individu, karena diantara individu menyadari akan adanya tugas-tugas bersama dalam kelompok.
            2) Meningkatkan komitmen pada kelompok dan tujuan-tujuan bersama dimana anggota kelompok saling bantu-membantu, saling membutuhkan, memberikan umpan balik yang tepat, dan memberi dorongan untuk pencapaian tujuan-tujuan bersama.
            3) Memperlancar interaksi antar individu dan antar kelompok di antara anggota kelompok, yang memungkinkan tiap anggota menampilkan ketrampilan sosial dan kompetensi dalam berkomunikasi.
            4) Memberikan stabilitas pada kelompok sehingga anggota kelompok dapat bekerjasama dengan anggota lain dalam waktu yang cukup lama tapi tidak melelahkan dan dapat membangun norma kelompok, penampilan, tugas bersama, dan pola-pola interaksi.

J. Quantum Learning
1. Latarbelakang
Bermula dari sekolah bisnis di Burklyn  yang di temukan oleh Bobbi DePorter dan Mike Hernacki. Mengajarkan pembiasaan belajar nyaman dan menyenangkan, berasaal dari eksperimen “suggestology” Georgi Lazanov (Bulgaria) yang hampir sama dengan “accelerated learning”: dengan upaya normal, siswa belajar cepat mengesankan, gembira: hiburan, permainan, warna, berpikir postif, kebugaran fisik, dan kesehatan emosional.
2. Strategi Quantum Learning
Quantum Learning menggabungkan sugestologi akselerasi, program neurolinguistik, dan teori keyakinan. Konsep-konsep kunci berasal dari teori otak kanan/kiri, teori otak kruine (3 in 1), pilihan modalitas (visual, auditorial, dan kinestetik), teori kecerdasan ganda, pendidikan holistik, belajar berdasar pengalaman, belajarnya menggunakan simbol, dan simulasi / permainan. Manfaat dari Quantum Learning adalah menumbuhkan sikap positif, peserta didik menjadi termotivasi, menumbuhkan ketrampilan belajar seumur hidup, dan menumbuhkan kepercayaan diri untuk mencapai kesuksesan.
Metode Quantum learning menggunakan metode dengan; 1)bersikap positif; 2) belajar pun ditemukan dengan cara belajar sendiri;3) menciptakan lingkungan belajar; 3) membaca cepat; 4) catatatan efektif; 5) teknik menulis canggih; 6) berpikir kreatif;7) dan hafalan yang menakjubkan.
3. Modalitas Belajar
       Modalitas belajar Quantum Learning menggunakan metode visual, auditorial, dan kinestetik. Berikut ciri-cirinya:

Visual
Auditorial
Kinestetik
1.
Rapi dan teratur
Bicara sambil kerja
Bicara perlahan
2
Bicara cepat
Terganggu keributan
Banyak bergerak
3
Teliti detail
Jika membaca, disuarakan
Belajar dengan praktik
4
Mengingat yang dilihat
Sulit tulis, hebat bicara
Menghafal dengan berjalan
5
Pembaca tekun
Bicara fasih dalam berdiskusi
Menunjuk dengan jari ketika membaca
6
Suka coret-coret
Suka musik, tapi kurang bisa melukis
Gunakan isyarat tubuh
7
Menyukai seni rupa
Belajar dengan mendengarkan
Tidak dapat duduk diam
8
Tahu tapi tidak pandai bicara
Lebih banyak mengeja, kurang menulis
Sukar ingat geografi
9
Memperhatikan penampilan
Bicaranya terpola.
Tulisannya jelek
       Dalam lingkungan belajar, quantum learning menggunakan lingkungan yang nyaman dan santai, sebaiknya dalam belajar menggunakan musik, cahaya cukup dan cocok, menggunakan visual, penataan perabot, memperhatikan temperatur, dan  suasana hati.
K. Project-Based Learning
Project-based learning merupakan sebuah model pembelajaran yang sudah banyak dikembangkan di negara-negara maju seperti Amerika Serikat. Jika    diterjemahkan   dalam   bahasa   Indonesia,   project   based   learning bermakna   sebagai   pembelajaran   berbasis   proyek.    Project-based learning adalah sebuah model atau pendekatan pembelajaran yang inovatif, yang menekankan belajar kontekstual melalui kegiatan-kegiatan yang kompleks (Cord, 2001; Thomas, Mergendoller, & Michaelson, 1999; Moss, Van-Duzer, Carol, 1998). Project-based learning berfokus pada konsep-konsep dan prinsip-prinsip utama (central) dari suatu disiplin, melibatkan mahasiswa dalam kegiatan pemecahan masalah dan tugas-tugas bermakna lainya, memberi peluang mahasiswa bekerja secara otonom mengkonstruk belajar mereka sendiri, dan puncaknya menghasilkan produk karya mahasiswa bernilai, dan realistik (Okudan. Gul E. dan Sarah E. Rzasa, 2004).  Berbeda dengan model-model pembelajaran tradisional yang umumnya bercirikan praktik kelas yang berdurasi pendek, terisolasi/lepas- lepas, dan aktivitas pembelajaran berpusat pada dosen, maka model project- based learning lebih menekankan pada kegiatan belajar yang relatif berdurasi panjang, holistik-interdisipliner, perpusat pada pebelajar, dan terintegrasi dengan praktik dan isu-isu dunia nyata. Dalam project-based learning mahasiswa belajar dalam situasi problem yang nyata, yang dapat melahirkan pengetahuan yang bersifat permanen dan mengorganisir proyek-proyek dalam pembelajaran (Thomas, 2000). Pembelajaran berbasis proyek  adalah suatu pendekatan pendidikan yang efektif yang berfokus pada kreatifitas berfikir, pemecahan masalah, dan interaksi antara siswa dengan kawan sebaya mereka untuk menciptakan dan menggunakan pengetahuan baru. Khususnya ini dilakukan dalam konteks pembelajaran aktif, dialog ilmiah dengan supervisor yang aktif sebagai peneliti (Berenfeld, 1996; Marchaim 2001; dan Asan, 2005). Berdasarkan pendapat-pendapat tersebut, project-based learning merupakan strategi pembelajaran yang dikembangkan berdasarkan faham pembelajaran konstruktivis yang menuntut peserta didik menyusun sendiri pengetahuannya (Doppelt, 2003). Konstruktivisme adalah teori belajar yang mendapat dukungan luas yang bersandar pada ide bahwa mahasiswa membangun pengetahuannya sendiri di dalam konteks pengalamannya sendiri (Wilson, 1996). Pendekatan project-based learning dapat dipandang sebagai salah satu pendekatan penciptaan lingkungan belajar yang dapat mendorong mahasiswa mengkonstruk pengetahuan dan keterampilan secara personal.  Buck Institute for Education (1999) menyebutkan bahwa project-based learning memiliki karakteristik, yaitu: (a) mahasiswa sebagai pembuat keputusan, dan membuat kerangka kerja, (b) terdapat masalah yang pemecahannya tidak ditentukan sebelumnya, (c) mahasiswa sebagai perancang proses untuk mencapai hasil, (d) mahasiswa bertanggungjawab untuk mendapatkan dan mengelola informasi yang dikumpulkan, (e) melakukan evaluasi secara kontinu, (f) mahasiswa secara teratur melihat kembali apa yang mereka kerjakan, (g) hasil akhir berupa produk dan dievaluasi kualitasnya, dan (h) kelas memiliki atmosfer yang memberi toleransi kesalahan dan perubahan.  Project-based learning memiliki potensi yang besar untuk membuat pengalaman belajar yang menarik dan bermakna bagi mahasiswa untuk memasuki lapangan kerja. Menurut Gaer (1998), di dalam project-based learning yang diterapkan untuk mengembangkan kompetensi setelah mahasiswa bekerja di perusahaan, mahasiswa menjadi lebih aktif di dalam belajar, dan banyak keterampilan yang berhasil dibangun dari proyek di dalam kelasnya, seperti keterampilan membangun tim, membuat keputusan kooperatif, pemecahan masalah kelompok, dan pengelolaan tim. Keterampilan-keterampilan tersebut besar nilainya ketika sudah memasuki lingkungan kerja.  dan merupakan keterampilan yang sukar diajarkan melalui pembelajaran tradisional.  
Landasan Project Based Learning
Kecenderungan abad XXI ditandai oleh peningkatan kompleksitas peralatan teknologi, dan munculnya gerakan restrukturisasi korporatif yang menekankan kombinasi kualitas teknologi dan manusia, menyebabkan dunia kerja akan memerlukan orang yang dapat mengambil inisiatif, berpikir kritis, kreatif, dan cakap memecahkan masalah. Hubungan “manusia-mesin” bukan  lagi merupakan hubungan mekanistik akan tetapi merupakan interaksi komunikatif yang menuntut kecakapan berpikir tingkat tinggi. Kecenderungan-kecenderungan tersebut mulai direspon oleh dunia pendidikan di Indonesia, yang semenjak tahun 2000 menerapkan empat pendekatan pendidikan, yakni (1) pendidikan berorientasi kecakapan hidup (life skills), (2) kurikulum dan pembelajaran berbasis kompetensi, (3) pembelajaran berbasis produksi, dan (4) pendidikan berbasis luas (broad- based education). Orientasi baru pendidikan itu berkehendak menjadikan lembaga pendidikan sebagai lembaga pendidikan kecakapan hidup, dengan pendidikan yang bertujuan mencapai kompetensi (selanjutnya disebut pembelajaran berbasis kompetensi), dengan proses pembelajaran yang otentik dan kontekstual yang dapat menghasilkan produk bernilai dan bermakna bagi mahasiswa, dan pemberian layanan pendidikan berbasis luas melalui berbagai jalur dan jenjang pendidikan yang fleksibel  multi-entry-multi- exit (Depdiknas, dalam Waras, 2007). Pendidikan berorientasi kecakapan hidup, pembelajaran berbasis kompetensi, dan proses pembelajaran yang diharapkan menghasilkan produk yang bernilai,  menuntut lingkungan belajar yang kaya dan nyata (rich and natural environment), yang dapat memberikan pengalaman belajar dimensi- dimensi kompetensi secara integratif. Lingkungan belajar yang dimaksud ditandai oleh:
 1. Situasi belajar, lingkungan, isi dan tugas-tugas yang relevan, realistik, otentik, dan menyajikan kompleksitas alami “dunia nyata”;
2. Sumber-sumber data primer digunakan agar menjamin keotentikan dan kompleksitas dunia nyata;
3. Mengembangkan kecakapan hidup dan bukan reproduksi pengetahuan;
4. Pengembangan kecakapan ini berada di dalam konteks individual dan melalui negosiasi sosial, kolaborasi, dan pengalaman;
5. Kompetensi sebelumnya, keyakinan, dan sikap dipertimbangkan sebagai prasyarat;
6. Keterampilan pemecahan masalah, berpikir tingkat tinggi, dan pemahaman mendalam ditekankan;
7. Mahasiswa diberi peluang untuk belajar secara apprenticeship di mana terdapat penambahan kompleksitas tugas, pemerolehan pengetahuan dan keterampilan;
8. Kompleksitas pengetahuan dicerminkan oleh penekanan belajar pada keterhubungan konseptual, dan belajar interdisipliner;
9. Belajar kooperatif dan kolaboratif diutamakan agar dapat mengekspos mahasiswa ke dalam pandangan-pandangan alternatif; dan
10. Pengukuran adalah otentik dan menjadi bagian tak terpisahkan dari kegiatan pembelajaran (Simons, dalam Waras,  2007).
Memperhatikan karakteristiknya yang unik dan komprehensif, model Pembelajaran Berbasis Proyek (Project-Based Learning) cukup potensial untuk memenuhi tuntutan pembelajaran tersebut. Model Pembelajaran Berbasis Proyek membantu mahasiswa dalam belajar: (1) pengetahuan dan keterampilan yang kokoh dan bermakna-guna (meaningful-use) yang dibangun melalui tugas-tugas dan pekerjaan yang otentik (Cord, 2001; Hung & Wong, 2000; Myers & Botti, 2000; Marzano, 1992); (2) memperluas pengetahuan melalui keotentikan kegiatan kurikuler yang terdukung oleh proses kegiatan belajar melakukan perencanaan (designing) atau investigasi yang open-ended, dengan hasil atau jawaban yang tidak ditetapkan sebelumnya oleh perspektif tertentu; dan (3) dalam proses membangun pengetahuan melalui pengalaman dunia nyata dan negosiasi kognitif antarpersonal yang berlangsung di dalam suasana kerja kolaboratif.
menyimpulkan & membuat laporan proyek). Hal-hal yang disiapkan dalam PBL: kurikulum, perelengkapan proyek, lingkungan fisik, lingkungan sosial, dan interaksi aspek-aspek tersebut. Pola ini menunjukan bentuk aktivitas  dalam melakukan penilaian terhadap mahasiswa. Feedback membantu  dosen  dalam menafsirkan penguasaan mahasiswa tehadap proyek yang telah dikerjakannya.  Langkah project-based learning menunjukkan skenario pembelajaran yang dijalankan.
L. Service Learning
       Di dalam aplikasi Service-Learning sebagai sebuah metode pengajaran, sering timbul pertanyaan apa bedanya Service-Learning dengan community service? Pertanyaan ini sering muncul karena tema program yang dilakukan adalah Community Outreach Program (COP) sedangkan metodenya menggunakan Service-Learning (S-L). Beberapa literatur memberikan panduan bahwa community service merupakan bentuk pengabdian masyarakat yang tidak didasarkan pada sebuah disiplin ilmu. Walaupun sebenarnya melalui pengabdian, mahasiswa juga mampu belajar tentang sesuatu dari kelompok masyarakat yang dilayani, namun pemahaman pembelajaran ini tidak disadari atau tidak terstrukturkan dalam sebuah refleksi. Di dalam Service-Learning, model pengabdian masyarakat bertitik tolak dari sebuah aplikasi ilmu pengetahuan yang dipelajari di dalam kelas untuk diterapkan di dunia nyata. Bentuk pengabdian ini harus disertai dengan catatan pribadi yang disebut refleksi untuk memberikan strukturisasi pengetahuan yang timbal balik antara mahasiswa dengan masyarakat. Mahasiswa memberikan pelayanan dalam rangka untuk belajar dari kelompok masyarakat, dan sebaliknya masyarakat menerima pengabdian para mahasiswa dan memberikan pelajaran yang berharga dalam kehidupan mahasiswa untuk tumbuh. Robert Sigmon (1994) memberikan sebuah studi sintaksis terhadap kata service dan learning, yang sangat membantu dalam memberikan pemahaman hubungan di antara dua kata tersebut, dan juga pemaknaan baru sebagai sebuah istilah baru.
Jadi pengertian kunci dari Service-Learning adalah membawa “learning” dari dalam kelas menuju ke lapangan untuk memperoleh sebuah pengalaman, pada sebuah kelompok masyarakat yang membutuhkan “service”, dengan sebuah siklus pembelajaran yang harus disadari dalam sebuah catatan refleksi.  Service-Learning, penyatuan pengabdian secara terstruktur dalam kurikulum, dapat dijabarkan sebagai berikut :  Ada kaitannya dengan kurikulum, sehingga sebuah service dilakukan berdasarkan pada sebuah kemampuan atau beberapa disiplin ilmu yang mengembangkan tujuan belajar dan memenuhi standard pendidikan dan peka terhadap perubahan ilmu pengetahuan, ketrampilan dan perilaku yang dapat dirasakan sebagai proses dalam pengerjaan proyek. Mahasiwa secara mandiri aktif dalam perencanaan dan pelaksanaan proyek yang menjawab kebutuhan masyarakat. Refleksi dilakukan, sebagai bagian dari proses pembelajaran yang berkelanjutan untuk menciptakan lingkaran PIKIR-BICARA-TULIS. Keseimbangan antara tugas pelayanan sebagai aplikasi ilmu dengan refleksi akan memberikan WAKTU untuk menyadari dampak dari sebuah pelayanan.  Service-Learning bukanlah:  
 Program sukarelawan
 Penambahan pada kurikulum pada sekolah bersangkutan
 Memiliki syarat pemenuhan sejumlah waktu tertentu untuk kelulusan
 Hukuman yang diberikan oleh pengadilan atau sekolah. 
 Hanya untuk murid SMA atau Universitas
 Menguntungkan satu pihak saja: murid atau masyarakat.  





















DAFTAR RUJUKAN


Ahmadi, K.,Amri, S.,dkk. 2011. Strategi pembelajaran Berorientasi KTSP.Prestasi Pustakarya:Jakarta
Gintings, Abdorrakhman & Zamroni. 2008. Esenesi Praktis Belajar & Pembelajaran. Humaniora: Buahbatu, Bandung.
Nurdiansah, A. 2010. Komponen Sistem Pembelajaran. (Online).
(http://andinurdiansah.blogspot.com). Diakses tanggal 3 Februari 2015
Kunandar. 2008. Guru Profesional: Implementasi Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) dan Sukses dalam Sertifikasi Guru.




Tidak ada komentar:

Posting Komentar