Perencanaan pembelajaran adalah proses pengambilan
keputusan hasil berpikir secara rasional tentang sasaran dan tujuan
pembelajaran tertentu. Serta rangakaian kegiatan yang harus dilaksanakan
sebagai upaya pencapaian tujuan tersebut dengan memanfaatkan segala potensi dan
sumber belajar yang ada. Perencanaan pembelajaran mengarah pada proses
penterjemahan kurikulum yang berlaku. Sistem pembelajaran mempunyai beberapa
komponen di antaranya:
A.
Siswa
Proses pembelajaran pada hakikatnya
diarahkan untuk membelajarkan siswa agar dapat mencapai tujuan yang telah
ditentukan. Keputusan-keputusan yang diambil dalam perencanaan pembelajaran
disesuaikan dengan kondisi siswa yang bersangkutan sesuai dengan kemampuan
dasar, minat dan bakat, motivasi belajar, dan gaya belajar siswa itu sendiri.
B.
Tujuan
Tujuan adalah komponen terpenting dalam
pembelajaran setelah komponen siswa sebagai subjek belajar. Tujuan
penyelenggaraan pendidikan diturunkan dari visi dan misi lembaga pendidikan itu
sendiri. Tujuan merupakan komponen penting dalam system pembelajaran. Karena
tujuan mengandung arah pembelajaran, tujuan menentukan kondisi siwa yang ingin
dibentuk melalui proses tersebut.
C. Kondisi
Kondisi adalah berbagai pengalaman
belajar yang dirancang agar siswa dapat mencapai tujuan khusus yang telah
dirumuskan. Pengalaman belajar harus mendorong agar siswa aktif belajar baik
secara fisik maupun nonfisik. Merencanakan pendidikan adalah menyediakan
kesempatan pada siswa untuk belajar sesuai dengan gaya belajar mereka sendiri.
Tekanan dalam menentukan kondisi belajar adalah siswa secara individual.
D.
Sumber Belajar
Sumber belajar berkaitan dengan segala
sesuatu yang memungkinkan siswa dapat memperoleh pengalaman belajar meliputi
lingkungan fisik, bahan dan alat yang dapat digunakan, personal, petugas
perpustakaan, ahli media, dan semua orang yang berpengaruh baik langsung maupun
tidak langsung untuk keberhasilan dalam pengalamn belajar.
E.
Hasil Belajar
Hasil belajar berkaitan dengan
pencapaian dalam memperoleh kemampuan sesuai dengan tujuan khusus yang
direncanakan. Jadi tugas utama guru adalah merancang instrument yang dapat
mengumpulkan data tentang keberhasilan siswa mencapai tujuan pembelajaran.
Pembelajaran merupakan suatu system yang kompleks yang keberhasilannya dapat
dilihat dari dua aspek, yaitu aspek produk dan aspek proses.
Sebagai suatu system, pembelajaran akan
dipengaruhi oleh beberapa unsure yang membentuknya. Beberapa unsur yang dapat
mempengaruhi kegiatan proses pembelajaran diantaranya guru, siswa, sarana,
alat, dn media, dan lingkungan.
1. Guru
Guru
merupakan komponen yang menentukan keberhasilan suatu system pembelajaran sebab
guru merupakan orang yang secara langsung berhadapan dengan siswa. Sebagai
perencana, guru dituntut untuk memahami secara benar kurikulum yang berlaku,
karakteristik siswa, fasilitas dan sumber daya yang ada, sehingga semuanya
dapat dijadikan komponen-komponen dalam menyusun rencana dan desain
pembelajaran. Sebagai implementator dan desain pembelajaran, guru berperan
sebagai model atau teladan bagi siswa dan sebagai pengelola pembelajaran.
2. Siswa
Siswa
adalah organism yang unik yang berkembang sesuai dengan tahap perkembangannya.
Perkembangan anak adalah perkembangan seluruh aspek kepribadiannya. Tetapi
tempo dan irama perkembangan masing-masing anak pada setiap aspek tidak selalu
sama. Proses perkembangan dapat dipengaruhi oleh perkembangan anak yang tidak
sama, dan karakteristik lain yang melekat pada diri anak.
3. Sarana dan prasarana
Sarana
adalah segala sesuatu yang mendukung secara langsung terhadap kelancaran proses
pembelajaran, misalnya media pembelajaran, alat-alat pelajaran, perlengakapan
sekolah, dan lain sebagainya. Prasarana adalah segala sesuatu yang secara tidak
langsung dapat mendukung keberhasilan proses pembelajaran misalnya jalan menuju
sekolah, penerapan sekolah, kamar kecil, dan lain sebagainya. Kelengkapan
sarana dan prasarana akan dapat membantu guru dalam penyelenggaraan proses
pembelajaran.
4. Lingkungan
Ditinjau
dari segi lingkungannya, ada 2 faktor yang dapat mempengaruhi proses
pembelajaran yaitu factor organisasi kelas dan factor iklim social psikologis.
Faktor organisasi kelas di dalamnya meliputi jumlah siswa dalam satu kelas yang
merupakan aspek penting yang dapat mempengaruhi proses pembelajaran. Faktor iklim
social psikologis adalah keharmonisan hubungan antara orang yang terlibat dalam
proses pembelajaran yang dapat terjadi secara internal atau eksternal
Berikut ini adalah konsep dan aplikasi
model-model pembelajaran aktif. Model-model pembelajaran ini dibagi menjadi
bermacam-macam diantaranya adalah Cooperative learning, Problem Based Learning,
Accelerated Learning, Adult Learning, Contextual
Teaching and Learning, Mastery Learning, Partisipative Teaching and Learning, dan lain sebagainya.
A. Cooperative Learning
Gagasan
lengkap tentang pendekatan praktis cooperative learning dalam konteks budaya
Indonesia dikemukakan secara ringkas tetapi padat,lengkap, dan enak dibaca
dalam sebuah buku kecil yang ditulis oleh Anita Lie seorang praktisi pendidikan
Indonesia yang berjudul “Cooperative Learning: mempraktikkan Cooperative
Learning di ruang kelas.” Sebagian besar dan isi bagian ini dirangkum dan buku
tersebut.
Aliran
lama di bidang belajar dan pembelajaran lebih didasarkan pada teori tabularasa
yang dikemukakan oleh John Locke yang memandang siswa sebagai kertas kosong
yang siap dicoret-coret oleh gurunya. Oleh karena itu banyak pengajar yang
mempraktekkan kegiatan belajar dan pembelajaran yang lebih berpusat kepada guru
“teacher centered”. Akibatnya terjadi
praktek-praktek belajar dan pembelajaran yang kalaupun tidak dapat disebut
salah kaprah atau kesalahan paradigma, tetapi kurang optimal karena guru membuat
siswa pasif dalam kegiatan belajar dan pembelajaran. Praktik belajar dan
pembelajaran yang kurang kondusif bagi siswa dalam mengembangkan potensinya
karena pendekatan yang salah kaprah tersebut sebagaimana digaris bawahi oleh
Lie adalah:
a.
Memindahkan pengetahuan dan guru ke siswa. Guru memberikan pelajaran yang telah
dikemasnya atas pertimbangan pribadinya dan siswa menerima materi banyak yang
bersifat hafalan yang harus diingat oleh siswa.
b.
Mengisi botol kosong dengan pengetahuan. Perilaku mengajar seperti ini dikenal
dengan istilah “jug syndrome” atau sindrom ceret air karena guru menganggap
bahwa siswa adalah penerima pengetahuan yang pasif dan siap menerima apa saja
yang diberikan oleh guru dan bagaimanapun cara memberikannya.
c.
Mengkotak-kotakkan siswa. Guru mengelompokkan siswa berdasarkan capaian
prestasinya seperti siswa bodoh dan siswa pintar, siswa yang berhak naik kelas
atau lulus atau yang harus tinggal kelas dan gagal, siswa yang berhak
memperoleh pekerjaan yang layak dan siswa yang tidak berhak. Dengan pandangan
seperti itu kemampuan siswa direduksi kedalam angka-angka.
B. Problem Based Learning
1. Gambaran Umum
Dalam model pembelajaran Problem-Based
Learning, sering digunakan akronim PBL, belajar dan pembelajaran diorientasikan
kepada pemecahan berbagai masalah terutama yang terkait dengan aplikasi materi
pelajaran di dalam kehidupan nyata. Selama siswa melakukan kegiatan memecahkan
masalah, guru berperan sebagai tutor yang akan membantu mereka mendefinisikan
apa yang mereka tidak tahu dan apa yang mereka perlu ketahui untuk memahami dan
atau memcahkan masalah. (Newbledan Cannon,111)
Pengembangan
model ini diantaranya didasari oleh:
a. Prinsip Enquiry Learning yang memandang belajar
adalah upaya untuk menemukan sendiri pengetahuan.
b.
Teori-teori psikologi belajar dan pembelajaran modern yang menjelaskan bahwa
pengetahuan akan lebih diingat dan dikemukakan kembali secara lebih efektif
jika belajar dan pembelajaran didasarkan dalam konteks manfaatnya di masa
depan.
2. Kelebihan Problem Based Learning
Ø
Dengan
PBL akan terjadi pembelajaran bermakna. Peserta didik/mahapeserta
didik yang belajar memecahkan suatu masalah maka mereka akan menerapkan
pengetahuan yang dimilikinya atau berusaha mengetahui pengetahuan yang
diperlukan. Belajar dapat semakin bermakna dan dapat diperluas ketika peserta
berhadapan dengan situasi di mana konsep diterapkan.
Ø
Dalam
situasi PBL, peserta didik/mahapeserta didik mengintegrasikan pengetahuan
dan ketrampilan secara simultan dan mengaplikasikannya dalam konteks yang
relevan
Ø
PBL
dapat meningkatkan kemampuan berpikir kritis, menumbuhkan inisiatif peserta
didik/mahapeserta didik dalam bekerja, motivasi internal untuk belajar, dan
dapat mengembangkan hubungan interpersonal dalam bekerja kelompok.
3. Tahapan-tahapan pemecahan masalah
Menurut
Zamroni, 2008:211 menyatakan bahwa Tahapan pemecahan masalah sangat bergantung
pada kompleksitas masalahnya. Untuk masalah yang kompleks karena cakupan dan
dimensinya sangat luas, maka langkah-langkah pemecahan masalah dengan
pendekatan akademik dapat dilakukan. Permasalahan yang sederhana dengan cakupan
dan dimensi yang rela sempit dan praktis dapat dipecahkan dengan
tahapan-tahapan yang sederhana dan praktis pula.
C.
Konsep Accelerated Learning
Konsep cara
belajar cepat diawali oleh pandangan Colin Rose dan Nicholl tentang adanya
beberapa hal yang menjadi karakteristik tahun-tahun terakhir yang penuh
pancaroba dari millenium II yang baru lalu. Hal tersebut merupakan tantangan
yang harus dijawab oleh setiap orang tua, pendidik, pelaku bisnis dan
pemerintahan. Keberhasilan pada abad mendatang akan bergantung pada sejauhmana
seseorang dapat mengembangkan keterampilan-keterampilan yang tepat untuk
menguasai kecepatan, kompleksitas, dan ketidakpastian yang saling berhubungan
satu sama lain.
Perubahan
dunia yang begitu cepat menuntut kemampuan belajar yang lebih cepat.
Kompleksitas dunia yang terus meningkat menuntut kemampuan yang sesuai untuk
menganalisis setiap situasi secara logis dan memecahkan masalah secara kreatif.
Prioritas utama bagi lembaga pendidikan adalah mengajarkan kepada anak-anak
bagaimana cara belajar dan bagaimana cara berpikir. Hanya dengan dua
ketrampilan super inilah seseorang dapat mengatasi perubahan dan kompleksitas
serta menjadi manusia yang secara ekonomi tidak bergantung dan tidak akan
menganggur pada abad ini. Kedua keterampilan tersebut akan menghasilkan
kemandirian dan kepercayaan diri.
Kemandirian
merupakan kemampuan untuk mengelola cara belajar sejak dini, untuk menguasai
informasi, dan untuk mengetahui bagaimana menggunakan informasi tersebut guna
menghasilkan produk-produk dan jawaban-jawaban kreatif terhadap
berbagaimasalah. Semua hal tersebut berimplikasi pada kebutuhan mendesak akan
keharusan melakukan suatu perubahan, baik dalam apa yang dipelajari dan
bagaimana ia dipelajari. Belajar bagaimana belajar menjadi sangat penting
karena ketika seseorang mempelajari cara belajar, maka kepercayaan dan
keyakinan dirinya akan meningkat. Ketika seseorang mempelajari cara belajar
maka akan memperoleh kemampuan dasar untuk menjadi pembelajar yang mampu
mengatur diri, dan kemampuan dasar untuk meningkatkan pengembangan pribadi.
Selain itu juga akan memiliki kekuatan untuk berubah dari konsumen pendidikan
yang pasif menjadi pengelola pembelajaran dan kehidupan yang aktif bagi diri
sendiri.
Menurut Colin
dan Malcolm, belajar bukan hanya untuk mengetahui jawaban-jawaban, juga bukan
sekedar untuk mengetahui penggalan dari suatu batang tubuh pengetahuan. Belajar
juga tidak hanya diukur dengan indeks prestasi dan nilai ujian saja. Akan
tetapi belajar adalah petualangan seumur hidup, perjalanan eksplorasi tanpa
akhir untuk menciptakan pemahaman personal. Petualangan tersebut haruslah
melibatkan kemampuan untuk secara terus menerus menganalisis dan meningkat cara
belajar, serta kemampuan menyadari proses belajar dan berpikir diri sendiri.
Belajar haruslah dimulai sedini mungkin dan terus berlangsung seumur hidupnya,
serta mengimplementasikan apa yang dipelajari. Seseorang akan menemukan bahwa
belajar itu mudah dan menyenangkan ketika orang tersebut mampu menggunakan
bentuk-bentuk kecerdasannya yang paling kuat. Hal tersebut disebabkan karena
sebagian orang mungkin kurang mampu dalam suatu jenis kecerdasan. Akan tetapi
karena gabungan dan paduan khusus keterampilan yang dimilikinya, dia mungkin
mampu mengisi dengan baik beberapa kekurangannya secara baik.Tapi umumnya semakin baik seseorang
mengembangkan kecerdasannya yang lain, maka akan semakin luwes orang tersebut
memenuhi tantangan dalam kehidupan yang luas aspeknya.
Metode
belajar dalam Accelerated Learning mengakui bahwa masing-masing individu
memiliki cara belajar pribadi pilihan yang sesuai dengan karakter dirinya. Oleh
karena itu, ketika seseorang belajar dengan menggunakan teknik-teknik yang
sesuai dengan gaya belajar pribadinya, maka berarti ia telah belajar dengan
cara yang paling alamiah bagi diri sendiri. Sebab, yang alamiah menjadi lebih
mudah, dan yang lebih mudah menjadi lebih cepat, itulah alasan Colin Rose dan
Malcolm J. Nicholl menyebutnya cara belajar cepat. Ketika para guru menggunakan
cetak biru enam langkah yang sama, maka mereka akan menjamin bahwa pengalaman
belajar adalah lengkap. Dan ketika para guru bekerja dalam urutan
langkah-langkah tersebut, maka mereka akan merasakan bahwa itu menyenangkan,
efektif, dan cepat.
Kecerdasan
hanyalah sehimpunan kemampuan dan ketrampilan. Seseorang dapat mengembangkan
dan meningkatkan kecerdasannya dengan belajar menggunakan kemampuannya sendiri
secara penuh. Strategi Cara Belajar Cepat akan memberikan “ sarana usaha & rdquo; untuk
mengembangkan keterampilan-keterampilan ini. Dan berikut ini penulis akan
memaparkan lebih jauh beberapa strategi cara belajar cepat.
Strategi
Belajar Accelerated Learning
Strategi cara belajar cepat
dalam Accelerated Learning merupakan paduan dari metode-metode yang dibagi
menjadi enam langkah dasar yang dapat dingat dengan mudah dengan menggunakan
singkatan M; A; S; T; E; R. Kata ini diciptakan oleh pelatih terkemuka Cara
Belajar Cepat (CBC) Jayne Nicholl.
Adapun pengertian dari
M-A-S-T-E-R menurut Colin Rose dan Malcolm J. Nicholl adalah sebagai berikut:
1. M adalah Motivating Your Mind
(Memotivasi Pikiran)
Dalam memotivasi pikiran maka
seseorang harus berada dalam keadaan pikiran yang “kaya
akal”, Itu berarti harus dalam keadaan relaks, percaya diri dan
termotivasi. Jika mengalami stress atau kurang percaya diri atau tidak dapat
melihat manfaat dari sesuatu yang dipelajari, maka ia tidak akan bisa belajar
dengan baik. Memiliki sikap yang benar terhadap belajar tentang sesuatu adalah
prasyarat mutlak. Seseorang harus mempunyai keinginan untuk
memperoleh keterampilan atau
pengetahuan baru, harus percaya bahwa dirinya betul-betul mampu belajar, dan
bahwa informasi yang didapatkan akan mempunyai dampak yang bermakna bagi
kehidupannya. Jika belajar hanya dianggap sebagai tugas belaka, maka besar
kemungkinannya akan mengalami kegagalan. Maka dari itu, sebagai langkah penting
pertama untuk memulai proses belajar, harus dapat menemukan AGB (Apa Gunanya
Bagiku). Menanyai diri sendiri, memperdebatkan informasi yang ada, menanyai
diri sendiri dengan pertanyan seperti “Apakah ini benar? Apakah ini
dapat dimengerti?” adalah bagian-bagian yang esensial dari proses
belajar, karena pertanyaan-pertanyaan tersebut dapat menjaga fokus perhatian.
2. A adalah Aquiring The
Information (Memperoleh Informasi)
Dalam belajar seseorang perlu
mengambil, memperoleh dan menyerap fakta-fakta dasar subyek palajaran yang
dipelajari melalui cara yang paling sesuai dengan pembelajaran inderawi yang
disukai. Walaupun ada sejumlah strategi belajar yang harus diimplementasikan
oleh setiap orang. Tetapi juga ada perbedaan pokok sejauh mana seseorang perlu
melihat, mendengar, atau melibatkan diri secara fisik dalam proses belajar.
Dengan mengidentifikasi kekuatan visual, auditori dan kinestetik, maka
seseorang askan dapat memainkan berbagai strategi yang menjadikan pemerolehan
informasi lebih mudah daripada sebelumnya. Ada beberapa strategi yang
ditawarkan Colin dan Malcolm dalam memperoleh informasi agar lebih mudah :
1.
Dapatkan gambaran yang lebih menyeluruh
tentang suatu obyek yang dimaksudkan.
Otak atau pikiran mampu
merasakan keseluruhan dan sebagian dari suatu hal secara bersamaan. Otak secara
aktif sibuk dalam “pembuatan makna”, yaitu mengaitkan
informasi baru dengan pengetahuan sebelumnya, sementara secara bersamaan
memisahkan informasi ke dalam tempatnya masing-masing. Misalnya dalam membaca
sebuah buku, cobalah membuka sekilas-sekilas seluruh halamannya. Catatlah (dalam
hati) tajuk-tajuk bab, sub-sub tajuk bab, dan ilustrasi. Berhentilah sejenak,
kemudian baca cepat suatu bagian yang benar-benar menarik perhatian. Inilah
cara efektif untuk mulai belajar.
b. Kembangkan gagasan inti
Setiap subyek pasti memiliki
gagasan inti atau gagasan pokok. Dengan memahami gagasan inti, segala
sesuatunya yang lain akan mudah dimengerti. Sekali bisa memahami gagasan
pokoknya, seluruh subyeknya akan menjadi menarik.
c. Buat sketsa dari apa yang
telah diketahui
Dalam memulai proses belajar perlu
membuat beberapa catatan tentang apa yang telah diketahui yang berkaitan dengan
apa yang akan dipelajari. Pertama-tama adalah mencatat apa yang telah
diketahui. Barulah kemudian mencatat apa saja yang dibutuhkan untuk menemukan
lebih banyak informasi yang terkait dengannya. Ini akan mendorong untuk mulai
merumuskan pertanyaanpertanyaan dalam pikiran, kemudian mulai mencari
jawaban-jawabannya dan akhirnya akan melibatkan sepenuhnya seseorang dalam
proses belajarnya.
d. Bagi materi menjadi
bagian-bagian kecil
Banyak pelajar yang gagal
sebelum memulai belajar karena merasa apa yang sedang dilakukan sangar
membebani. Untuk mengatasi hal ini adalah dengan memecah-mecah apa yang sedang
dipelajari ke dalam bagian-bagian kecil. Dengan mendapatkan
informasi bagian per bagian akan memperoleh sukses kecil yang berkesinambungan
tanpa tekanan mental.
e. Bertanyalah terus
Dengan mempertanyakan terus apa
yang belum diketahui akan membuat pikiran tetap fokus, dengan mencari dan
menemukan jawaban dari pertanyaan-pertanyaan yang disusun akan menjaga
ketertarikan terhadap subyek yang dipelajari.
f. Kenali gaya belajar sendiri
Walaupun masing-masing peneliti
menggunakan istilah yang berbeda dan menemukan berbagai cara untuk mengatasi
gaya belajar seseorang, telah disepakati secara umum adanya dua kategori utama
tentang bagaimana kita belajar.
Pertama, bagaimana kita menyerap
informasi dengan mudah dan kedua, cara kita mengatur dan mengolah informasi
tersebut. Gaya belajar seseorang adalah kombinasi dari bagaimana ia menyerap,
dan kemudian mengatur serta mengolah informasi.
Jika seseorang akrab dengan gaya
belajarnya sendiri, maka dapat mengambil langkah-langkah penting untuk membantu
agar belajar lebih cepat dan lebih mudah. Pada awal pengalaman belajar, salah
satu di antara langkah-langkah pertama adalah mengenali modalitas seseorang
sebagai modalitas visual, auditorial, atau kinestetik. Seperti yang telah
diusulkan istilah-istilah ini, orang visual belajar dari apa yang mereka lihat,
pelajar auditorial belajar melalui apa yang mereka dengar, dan pelajar
kinestetik belajar lewat gerak dan sentuhan. Walaupun masing-masing dari kita
belajar dengan menggunakan ketiga modalitas ini pada tahapan tertentu,
kebanyakan orang lebih cenderung pada salah satu di antara ketiganya. Mengidentifikasi
dan memahami belajar sendiri dan gaya-gaya belajar orang lain, akan membuka
pintu untuk meningkatkan kinerja dan prestasi serta memperkaya pengalaman dalam
setiap aspek kehidupan. Seseorang akan mampu menyerap informasi lebih cepat dan
mudah, dapat mengidentifikasi dan mengapresiasi cara yang paling disukai untuk
menerima informasi, dapat berkomunikasi jauh lebih efektif dengan orang lain
dan memperkuat pergaulan dengan orang lain.
3. S adalah Searching Out the
Meaning (Menyelidiki Makna)
Mengubah fakta ke dalam makna
adalah unsur pokok dalam proses belajar. Menanamkan informasi pada memori
mengharuskan seseorang untuk menyelidiki makna seutuhnya secara seksama dengan
mengeksplorasi bahan subyek yang bersangkutan. Mengubah fakta menjadi makna adalah
arena di mana ke delapan kecerdasan berperan aktif. Setiap jenis kecerdasan
adalah sumber daya yang bisa diterapkan ketika mengeskplorasi dan
menginterpretasi fakta-fakta dari materi pelajaran. Teori Delapan Kecerdasan
dikemukakan oleh Gardner, yang secara garis besarnya adalah sebagai berikut :
1) Kecerdasan Linguistik
(bahasa), yaitu kemampuan membaca, menulis, dan berkomunikasi dengan kata-kata
atau bahasa.
2) Kecerdasan Logis-Matematis,
adalah kemampuan berpikir (menalar) dan menghitung, berpikir logis dan
sistematis.
3) Kecerdasan Visual-Spasial,
adalah kemampuan berpikir menggunakan gambar, membayangkan berbagai hal pada
mata pikiran.
4) Kecerdasan Musikal, adalah
kemampuan mengubah atau menciptakan musik, dapat bernyanyi dengan baik, atau
memahami dan mengapresiasi musik.
5) Kecerdasan
Kinestetik–Tubuh, adalah kemampuan menggunakan tubuh secara terampil
dalam memecahkan masalah, menciptakan produk atau mengemuka-kan gagasan dan
emosi.
6) Kecerdasan Interpersonal
(sosial), adalah kemampuan bekerja secara efektif dengan orang lain,
berhubungan dengan orang lain dan memperlihatkan empati dan pengertian,
memperhatikan motivasi dan tujuan mereka.
7) Kecerdasan Intrapersonal,
yaitu kemampuan manganalisis diri sendiri, mampu merenung dan menilai prestasi
diri, serta mampu membuat rencana dan menyusun tujuan yang hendak dicapai.
8) Kecerdasan Naturalis, yaitu
kemampuan mengenal flora dan fauna, melakukan pemilahan-pemilahan runtut dalam
dunia kealaman, dan menggunakan kemampuan ini secara produktif.
Dengan menggunakan semua jenis
kecerdasan tersebut akan mendorong seseorang berpikir dalam cara baru, mampu
menghidupkan informasi, menjadikannya mudah diingat, memungkinkan seseorang
menginterpretasikan fakta, mengubahnya dari pengetahuan permukaan menjadi
pemahaman mendalam, mengaitkan yang baru dengan yang sudah diketahui,
membandingkan, menarik kesimpulan, dan menjadikan semua dapat digunakan dan
bermakna bagi diri sendiri.
4. T adalah Triggering the
Memory (Memicu Memori)
Memori menjadi bersifat menetap
atau semestara, sangat tergantung pada bagaimana kekuatan informasi untuk
pertama kalinya pada otak. Itulah sebabnya mengapa sangat penting untuk belajar
dengan cara melibatkan indra pendengaran, penglihatan, berbicara dan bekerja,
serta yang melibatkan emosi-emosi positif. Semua faktor tersebut membuat memori
menjadi kuat. Di samping setiap orang memiliki berbagai tipe kecerdasan yang
berbeda, mereka juga memiliki daya ingat (kemampuan mengingat) yang berbeda
pula. Sebagian orang sangat baik dalam mengingat nama, wajah, atau angka, namun
tidak ketiga-tiganya sekaligus. Akan tetapi sebenarnya setiap jenis memori
dapat ditingkatkan dengan menggunakan metode pelatihan yang benar.
E. Memahami Cara Belajar Orang Dewasa (Adult Learning)
Belajar selalu
menjadi kebutuhan utama dalam kehidupan manusia. Karena belajar merupakan suatu
cara untuk menggapai cita-cita. Kadang, belajar dianggap remeh oleh sebagian
orang , tak jarang banyak yang gagal dalam mencapai cita-citanya. Cara belajar
setiap orang pun berbeda, hal ini dapat didasari oleh beberapa aspek seperti,
tingkat pendidikan, dan cara berpikir.
Masalah yang terdapat dari skenario adalah kesulitan cara belajar dari seorang anak yang baru lulus dari SMA dan ingin melanjutkan ke Universitas. Tentu saja cara belajarnya masih terpaku dangan cara belajar semasa sekolah dimana pemikirannya hanya terbatas pada apa yang diberikan pengajar. Hal ini sangat berbeda dengan cara belajar seorang mahasiswa atau dapat dikatakan “cara belajar orang dewasa”.
Dari hasil penelitian, Linderman mengidentifikasi beberapa asumsi tentang pembelajar orang dewasa yang dijadikan fondasi teori belajar orang dewasa yaitu sebagai berikut :
1. Pembelajar orang dewasa akan termotivasi untuk belajar karena kebutuhan dan minat dimana belajar akan memberikan kepuasan
2. Orientasi pembelajar orang dewasa adalah berpusat pada kehidupan, sehingga unit-unit pembelajar sebaiknya adalah kehidupan nyata (penerapan) bukan subject matter
3. Pengalaman adalah sumber terkaya bagi pembelajar orang dewasa, sehingga metode pembelajaran adalah analisa pengalaman (experiential learning)
4. Pembelajaran orang dewasa mempunyai kebutuhan yang mendalam untuk mengarahkan diri sendiri (self directed learning), sehingga peran guru sebagai instruktur
5. Perbedaan diantara pembelajar orang dewasa semakin meningkat dengan bertambahnya usia, oleh karena itu pendidikan orang dewasa harus memberi pilihan dalam hal perbedaan gaya belajar, waktu, tempat dan kecepatan belajar
Untuk menyeimbangi cara belajar ini, diperlukan pemikiran yang kritis karena Kemampuan berpikir kritis merupakan kemampuan yang sangat esensial untuk kehidupan, pekerjaan, tingkatan pendidikan dan berfungsi efektif dalam semua aspek kehidupan lainnya.
Menurut Halpen (1996), berpikir kritis adalah memberdayakan keterampilan atau strategi kognitif dalam menentukan tujuan. Pendapat senada dikemukakan Anggelo (1995: 6), berpikir kritis adalah mengaplikasikan rasional, kegiatan berpikir yang tinggi, yang meliputi kegiatan menganalisis, mensintesis, mengenal permasalahan dan pemecahannya, menyimpulkan, dan mengevaluasi. Dan hanya bisa terjadi ketika seseorang itu sudah menerapkan cara belajar orang dewasa dalam hidupnya. Berpikir kritis juga merupakan salah satu proses berpikir tingkat tinggi yang dapat digunakan dalam pembentukan sistem konseptual siswa. Menurut Ennis (1985: 54), berpikir kritis adalah cara berpikir reflektif yang masuk akal atau berdasarkan nalar yang difokuskan untuk menentukan apa yang harus diyakini dan dilakukan.
Karakteristik yang berhubungan dengan berpikir kritis, dijelaskan Beyer (1995: 12-15) secara lengkap dalam buku Critical Thinking, yaitu:
1. Watak (dispositions)
Seseorang yang mempunyai keterampilan berpikir kritis mempunyai sikap skeptis, sangat terbuka, menghargai sebuah kejujuran, respek terhadap berbagai data dan pendapat, respek terhadap kejelasan dan ketelitian, mencari pandangan-pandangan lain yang berbeda, dan akan berubah sikap ketika terdapat sebuah pendapat yang dianggapnya baik.
2. Kriteria(criteria)
Dalam berpikir kritis harus mempunyai sebuah kriteria atau patokan. Untuk sampai ke arah sana maka harus menemukan sesuatu untuk diputuskan atau dipercayai. Meskipun sebuah argumen dapat disusun dari beberapa sumber pelajaran, namun akan mempunyai kriteria yang berbeda. Apabila kita akan menerapkan standarisasi maka haruslah berdasarkan kepada relevansi, keakuratan fakta-fakta, berlandaskan sumber yang kredibel, teliti, tidak bias, bebas dari logika yang keliru, logika yang konsisten, dan pertimbangan yang matang.
3. Argumen(argument)
Argumen adalah pernyataan atau proposisi yang dilandasi oleh data-data. Keterampilan berpikir kritis akan meliputi kegiatan pengenalan, penilaian, dan menyusun argumen.
4. Pertimbanganataupemikiran(reasoning)
Yaitu kemampuan untuk merangkum kesimpulan dari satu atau beberapa premis. Prosesnya akan meliputi kegiatan menguji hubungan antara beberapa pernyataan atau data.
5. Sudutpandang(pointofview)
Sudut pandang adalah cara memandang atau menafsirkan dunia ini, yang akan menentukan konstruksi makna. Seseorang yang berpikir dengan kritis akan memandang sebuah fenomena dari berbagai sudut pandang yang berbeda.
6. Prosedur penerapan kriteria (procedures for applying criteria)
Prosedur penerapan berpikir kritis sangat kompleks dan prosedural. Prosedur tersebut akan meliputi merumuskan permasalahan, menentukan keputusan yang akan diambil, dan mengidentifikasi perkiraan-perkiraan.
Perbedaan Sistem Pembelajaran Kurikulum
Kurikulum merupakan “jalur pacu” atau “kendaraan” untuk mencapai tujuan pendidikan dan kompetensi lulusan dari suatu program studi. Untuk itu kompetensi yang dimiliki oleh lulusan dan kurikulum dari suatu program studi perlu dirumuskan sesuai dengan tujuan pendidikan dan tuntutan kompetensi lulusan, sehingga lulusan program studi tersebut memiliki keunggulan komparatif di bidangnya.Dalam penyusunan kurikulum program studi perlu dipikirkan agar keluaran (outcomes) yang diharapkan, sasaran (goals), dan tujuan (objectives) pendidikan yang akan dicapai kurikulum tersebut, tidak memuat nilai-nilai dasar yang cepat usang dan/atau tidak relevan, hal seperti ini disebut sabretoothed curriculum.
Masalah yang terdapat dari skenario adalah kesulitan cara belajar dari seorang anak yang baru lulus dari SMA dan ingin melanjutkan ke Universitas. Tentu saja cara belajarnya masih terpaku dangan cara belajar semasa sekolah dimana pemikirannya hanya terbatas pada apa yang diberikan pengajar. Hal ini sangat berbeda dengan cara belajar seorang mahasiswa atau dapat dikatakan “cara belajar orang dewasa”.
Dari hasil penelitian, Linderman mengidentifikasi beberapa asumsi tentang pembelajar orang dewasa yang dijadikan fondasi teori belajar orang dewasa yaitu sebagai berikut :
1. Pembelajar orang dewasa akan termotivasi untuk belajar karena kebutuhan dan minat dimana belajar akan memberikan kepuasan
2. Orientasi pembelajar orang dewasa adalah berpusat pada kehidupan, sehingga unit-unit pembelajar sebaiknya adalah kehidupan nyata (penerapan) bukan subject matter
3. Pengalaman adalah sumber terkaya bagi pembelajar orang dewasa, sehingga metode pembelajaran adalah analisa pengalaman (experiential learning)
4. Pembelajaran orang dewasa mempunyai kebutuhan yang mendalam untuk mengarahkan diri sendiri (self directed learning), sehingga peran guru sebagai instruktur
5. Perbedaan diantara pembelajar orang dewasa semakin meningkat dengan bertambahnya usia, oleh karena itu pendidikan orang dewasa harus memberi pilihan dalam hal perbedaan gaya belajar, waktu, tempat dan kecepatan belajar
Untuk menyeimbangi cara belajar ini, diperlukan pemikiran yang kritis karena Kemampuan berpikir kritis merupakan kemampuan yang sangat esensial untuk kehidupan, pekerjaan, tingkatan pendidikan dan berfungsi efektif dalam semua aspek kehidupan lainnya.
Menurut Halpen (1996), berpikir kritis adalah memberdayakan keterampilan atau strategi kognitif dalam menentukan tujuan. Pendapat senada dikemukakan Anggelo (1995: 6), berpikir kritis adalah mengaplikasikan rasional, kegiatan berpikir yang tinggi, yang meliputi kegiatan menganalisis, mensintesis, mengenal permasalahan dan pemecahannya, menyimpulkan, dan mengevaluasi. Dan hanya bisa terjadi ketika seseorang itu sudah menerapkan cara belajar orang dewasa dalam hidupnya. Berpikir kritis juga merupakan salah satu proses berpikir tingkat tinggi yang dapat digunakan dalam pembentukan sistem konseptual siswa. Menurut Ennis (1985: 54), berpikir kritis adalah cara berpikir reflektif yang masuk akal atau berdasarkan nalar yang difokuskan untuk menentukan apa yang harus diyakini dan dilakukan.
Karakteristik yang berhubungan dengan berpikir kritis, dijelaskan Beyer (1995: 12-15) secara lengkap dalam buku Critical Thinking, yaitu:
1. Watak (dispositions)
Seseorang yang mempunyai keterampilan berpikir kritis mempunyai sikap skeptis, sangat terbuka, menghargai sebuah kejujuran, respek terhadap berbagai data dan pendapat, respek terhadap kejelasan dan ketelitian, mencari pandangan-pandangan lain yang berbeda, dan akan berubah sikap ketika terdapat sebuah pendapat yang dianggapnya baik.
2. Kriteria(criteria)
Dalam berpikir kritis harus mempunyai sebuah kriteria atau patokan. Untuk sampai ke arah sana maka harus menemukan sesuatu untuk diputuskan atau dipercayai. Meskipun sebuah argumen dapat disusun dari beberapa sumber pelajaran, namun akan mempunyai kriteria yang berbeda. Apabila kita akan menerapkan standarisasi maka haruslah berdasarkan kepada relevansi, keakuratan fakta-fakta, berlandaskan sumber yang kredibel, teliti, tidak bias, bebas dari logika yang keliru, logika yang konsisten, dan pertimbangan yang matang.
3. Argumen(argument)
Argumen adalah pernyataan atau proposisi yang dilandasi oleh data-data. Keterampilan berpikir kritis akan meliputi kegiatan pengenalan, penilaian, dan menyusun argumen.
4. Pertimbanganataupemikiran(reasoning)
Yaitu kemampuan untuk merangkum kesimpulan dari satu atau beberapa premis. Prosesnya akan meliputi kegiatan menguji hubungan antara beberapa pernyataan atau data.
5. Sudutpandang(pointofview)
Sudut pandang adalah cara memandang atau menafsirkan dunia ini, yang akan menentukan konstruksi makna. Seseorang yang berpikir dengan kritis akan memandang sebuah fenomena dari berbagai sudut pandang yang berbeda.
6. Prosedur penerapan kriteria (procedures for applying criteria)
Prosedur penerapan berpikir kritis sangat kompleks dan prosedural. Prosedur tersebut akan meliputi merumuskan permasalahan, menentukan keputusan yang akan diambil, dan mengidentifikasi perkiraan-perkiraan.
Perbedaan Sistem Pembelajaran Kurikulum
Kurikulum merupakan “jalur pacu” atau “kendaraan” untuk mencapai tujuan pendidikan dan kompetensi lulusan dari suatu program studi. Untuk itu kompetensi yang dimiliki oleh lulusan dan kurikulum dari suatu program studi perlu dirumuskan sesuai dengan tujuan pendidikan dan tuntutan kompetensi lulusan, sehingga lulusan program studi tersebut memiliki keunggulan komparatif di bidangnya.Dalam penyusunan kurikulum program studi perlu dipikirkan agar keluaran (outcomes) yang diharapkan, sasaran (goals), dan tujuan (objectives) pendidikan yang akan dicapai kurikulum tersebut, tidak memuat nilai-nilai dasar yang cepat usang dan/atau tidak relevan, hal seperti ini disebut sabretoothed curriculum.
1.Latar Belakang Pengembangan
Pembelajaran Kontekstual
Pembelajaran yang berorientasi pada
penguasaan materi dianggap gagal menghasilkan peserta didik yang aktif,
kreatif, dan inovatif. Peserta didik berhasil “mengingat” jangka pendek, tetapi
gagal dalam membekali peserta didik memecahkan persoalan dalam kehidupan jangka
panjang. Oleh karena itu, perlu ada perubahan pendekatan pembelajaran yang
lebih bermakna sehingga dapat membekali peserta didik dalam menghadapi
permasalahan hidup yang dihadapi sekarang maupun yang akan datang. Pendekatan
pembelajaran yang cocok untuk hal di atas adalah pembelajaran kontekstual
(CTL).
Pendekatan kontekstual (CTL)
merupakan konsep belajar yang beranggapan bahwa anak akan belajar lebih baik
jika lingkungan diciptakan secara alamiah, artinya belajar akan lebih bermakna
jika anak “bekerja” dan “mengalami” sendiri apa yang dipelajarinya, bukan
sekedar “mengetahuinya.” Pembelajaran tidak hanya sekadar kegiatan mentransfer
pengetahuan dari guru kepada siswa, tapi bagaimana siswa mampu memaknai apa
yang dipelajari itu. Oleh karena itu, strategi pembelajaran lebih utama
dari sekedar hasil. Dalam hal ini siswa perlu mengerti apa makna belajar, apa
manfaatnya, dalam status apa mereka, dan bagaimana mencapaianya. Mereka
menyadari bahwa apa yang dipelajari akan berguna bagi kehidupannya kelak.Dengan
demikian, mereka akan belajar lebih semangat dan penu kesadaran.
2. Ciri-ciri Pembelajaran
Kontekstual
Menurut Kunandar,
(2007:298) cirri-ciri pembelajaran kontekstual antara lain:
Ø Adanya kerjasama antar semua pihak;
Ø Menekankan pentingnya pemecahan masalah atau problem;
Ø Bermuara pada keragaman konteks kehidupan siswa yang berbeda-beda
Ø Saling menunjang.
Ø Menyenangkan, tidak membosankan
Ø Belajar dengan bergairah
Ø Pembelajaran terintegrasi
Ø Menggunakan berbagai sumber
Ø Siswa aktif
Ø Sharing dengan teman
Ø Siswa kritis, guru kreatif
Ø Dinding kelas dan lorong-lorong penuh dengan hasil karya siswa,
peta-peta gambar
Ø Laporan kepada orangtua bukan hanya rapor, tetapi hasil karya siswa,
laporan hasil praktikum, karangan siswa, dan sebagainya.
Tabel 6.3. Perbedaan CTL dan Tradisional
|
No.
|
CTL
|
Tradisional
|
|
1
|
Menyandarkan pada memori spasial
(pemahaman makna)
|
Menyandarkan pada hapalan
|
|
2
|
Pemilihan informasi berdasarkan
kebutuhan siswa
|
Pemilihan informasi ditentukan
oleh guru
|
|
3
|
Siswa terlibat secara aktif
dalam proses pembelajaran
|
Siswa secara pasif menerima
informasi
|
|
4
|
Pembelajaran dikaitkan dengan
kehidupan nyata/masalah yang disimulasikan
|
Pembelajaran sangat abstrak dan
teoritis
|
|
5
|
Selalu mengaitkan informasi
dengan pengetahuan yang telah dimiliki siswa.
|
Memberikan tumpukan informasi
kepada siswa sampai saatnya diperlukan
|
|
6.
|
Cenderung mengintegrasikan
beberapa bidang
|
Cenderung terfokus pada satu
bidang (disiplin) tertentu
|
|
7.
|
Siswa menggunakan waktu belajarnya untuk menemukan,
menggali, berdiskusi, berpikir kritis, atau mengerjakan proyek dan pemecahan
masalah (melalui kerja kelompok) |
Waktu belajar siswa sebagian
besar dipergunakan untuk mengerjakan buku tugas, mendengar ceramah, dan
menigisi latihan yang membosankan
|
|
8.
|
Perilaku dibangun atas kesadaran sendiri |
Perilaku dibangun atas kebiasaan
|
|
9.
|
Keterampilan dikembangkan atas dasar pemahaman. |
Ketrampilan dikembangkan atas dasar latihan. |
|
10.
|
Hadiah dari perilaku baik adalah
kepuasan diri.
|
Hadiah dari perilaku baik adalah
pujian atau nilai (angka) rapor.
|
G. Belajar Tuntas (Mastery Learning)
Menurut pendapat yang
tradisional, belajar hanyalah dianggap sebagai penambahan dan pengumpulan
sejumlah ilmu pengetahuan. Pendapat ini terlalu sempit dan sederhana serta
hanya berpusatpada mata pelajaran belaka. Belajar tidak hanya sekadar
mengumpulkan ilmu pengetahuan, tetapi belajar itu lebih menekankan pada
perubahan pada individu yang belajar. Hal ini seperti yang dikatakan oleh
Lester D. Crow & Alice Crow dalam Mulyasa (2005) dalam Kunandar (2007),
bahwa belajar adalah perubahan individu dalam kebiasaan, pengetahuan, dan
sikap. Menurut definisi ini seseorang mengalami proses belajar kalau ada
perubahan dari tidak tahu menjadi tahu, dari tida bisa menjadi bisa, dari
kurang baik menjadi baik Menurut Kamus Umum Bahasa Indonesia, belajar adalah
berusaha (berlatih dan sebagainya) supaya mendapat sesuatu kepandaian.
Hakikat belajar
adalah upaya memfasilitasi individu secara sistematik dan bertujuan dengan
menetapkan strategi berdasarkan kondisi dan hasil yang diharapkan agar muncul
prakarsa tindak belajar. Hakikat belajar itu Universal, Menurut Unesco 1996:
Hakikat belajar adalah:
v Learn to know adalah suatu proses pembelajaran yang memungkinkan
peserta didik menghayati dan akhirnya dapat merasakan serta dapat menerapkan
cara memperoleh pengetahuan, suatu proses yang memungkinkan tertanamnya sikap
ilmiah, yaitu sikap ingin tahu dan selanjutnya menimbulkan rasa mampu untuk
selalu mencari jawaban atas masalah yang dihadapi secara ilmiah. Terus majunya
iptek di dunia Barat, tempat lahirnya ilmu pengetahuan modern, tidak lain
karena peserta didik di negara-negara tersebut dapat menghayati proses
pembelajaran sampai tingkatan “joy of discovery” Jelas, bahwa untuk dapat
menciptakan proses pembelajaran sampai tingkatan ini, diperlukan sarana dan
prasarana yang memadai, guru yang professional, system evaluasi yang terus
menerus, komprehensif dan objektif, serta suasana sekolah yang demokratis.
v Learn to do (Belajar
melakukan)
Sasaran akhir
dari diterapkannya pilar ini adalah lahirnya generasi muda yang dapat bekerja
secara cerdas dengan memanfaatkan Iptek. Tujuan akhir dari upaya pendidikan
adalah penguasaa seni menggunakan ilmu pengetahuan. Ini sangat relevan dalam
“technology based economy” suatu masyarakat yang tenaga kerjanya tidak cukup
hanya menguasai ketrampilan motorik yang mekanistik, tetapi dituntut kemampuan
untuk melaksanakan pekerjaan-pekerjaan seperti “controlling, monitoring,
maintaining, designing, dan organizing” Oleh karena itu, proses sifatnya
“learning to do” ini memerlukan susasana atau situasi pembelajaran yang
memnungkinkan peserta didik menghadapi masalah untuk dipercahkan dengan
menggunakan Iptek yang secara teori telah dipelajari
v Learn to be (Belajar untuk
menjadi orang lain) Setiap individu didorong untuk berkembang dan
mengaktualisasikan diri. Dengan learning to do seseorang akan mengenal jati
diri, memahami kemampuan dan kelemahannya dengan kompetensi-kompetensinya akan
membangun pribadi yang utuh.
v Learn to live together (Belajar untuk hidup bersama) Belajar ini
ditekankan seseorang atau pihak yang belajar mampu hidup bersama, dengan
memahami orang lain, sejarahnya, budayanya, dan mampu berinteraksi dengan orang
lain secara harmonis.
Jadi , belajar
adalah suatu aktivitas yang mengharapakan perubahan tingkah laku (behavioral
change) pada diri individu yang belajar. Perubahan tingkah laku terjadi karena
usaha individu yang bersangkutan. Belajar selalu melibatkan tiga hal yang
pokok, yaitu adanya perubahan tingkah laku, sifat perubahan relative permanen,
dan perubahan tersebut disebabkan oleh interaksi dengan lingkungan, bukan oleh
proses kedewasaan ataupun perubahan-perubahan kondisi fisik yang temporer
sifatnya Oleh karena itu pada prinsipnya belajar adalah proses perubahan
tingkah laku sebagai akibat dari interaksi antara siswa dengan sumber-sumber
belajar, baik sumber yang didesain maupun yang dimanfaatkan. Proses belajar
tidak hanya terjadi karena adanya interaksi antara siswa dengan guru. Hasil belajar
yang maksimal dapat pula diperoleh lewat interaksi antara siswa dengan
sumber-sumber belajar lainnya.
H. Partisipative Teaching and Learning
(Pembelajaran Partisipatif)
Pembelajaran Partisipatif
(Partisipative Teaching and Learning) merupakan model pembelajaran dengan
melibatkan peserta didik secara aktif dalam perencanaan, pelaksanaan, dan
evaluasi pembelajaran.
Dengan
meminjam pemikiran Knowles, (E. Mulyasa,2003) menyebutkan indicator
pembelajaran partisipatif yaitu:
1. adanya
keterlibatan emosional dan mental peserta didik
2. Adanya
kesediaan peserta didik untuk memberikan kontribusi dalam pencapaian tujuan
3. Dalam
kegiatan belajar terdapat hal yang menguntungkan peserta didik.
Pengembangan pembelajaran
partisipatif dilakukan dengan prosedur berikut:
1. Menciptakan
suasana yang mendorong peserta didik siap belajar
2. Membantu
peserta didik menyusun kelompok, agar siap belajar dan membelajarkan
3. Membantu peserta didik untuk mendiagnosis dan menemukan
kebutuhan belajarnya
4. Membantu
peserta didik menyusun tujuan belajar
5. Membantu peserta didik merancang pola-pola pengalaman belajar
6. Membantu peserta didik melakukan kegiatan belajar
7. Membantu peserta didik melakukan evaluasi diri terhadap proses dan
hasil belajar.
I. Pengertian Belajar
Kolaboratif
Konsep belajar kolaboratif sering
diidentifikasikan dengan konsep belajar Kooperatif, tetapi ada yang secara
tegas membedakan antara keduanya. Pendukung konsep kooperatif Slavin (1990:2)
mengatakan belajar kooperatif mengacu pada variasi metode mengajar dimana
pebelajar bekerja dalam kelompok-kelompok kecil, saling membantu belajar materi
pelajaran, berdiskusi dan saling adu argumentasi, saling mengases
pengetahuan-pengetahuan baru dan dapat saling mengsisi kekurangan pengertian
yang dialami.
Keberhasilan diukur dari kemampuan
mereka untuk meyakinkan bahwa tiap-tiap individu telah menangkap pokok-pokok
materi dan ide-ide kunci yang diajarkan. Meskipun kooperatif bukan ide baru
dalam pendidikan, tetapi hingga kini masih sedikit pengajar-pengajar
menggunakan dan hanya untuk tujuan-tujuan tertentu misalnya hanya untuk
kegiatan tugas proyek atau membuat laporan tugas bersama. Hasil penelitian
terdahulu telah mengidentifikasikan bahwa belajar kooperatif dapat digunakan
secara efektif pada berbagai jenjang pendidikan untuk berbagai jenis isi
pengajaran, mulai yang matematis hingga membaca, science, dari ketrampilan
dasar hingga pemecahan masalah yang kompleks. Selain itu dapat digunakan
sebagai cara utama pengajar untuk mengorganisasikan pengajaran di kelas.
Para ahi lain berpandangan, dalam belajar
kooperatif belum tentu ada peristiwa kolaboratif diperlukan suasana kerjasama
atau kooperatif. Berikut pandangan-pandangan itu memperkuat perbedaan-perbedaan
kolaboratif terhadap kooperatif.
Pembelajaran kolaboratif menurut
Totten, Sills, Digby, & Russ (1991) bukan pendekatan yang baru, berbagai
variasinya sudah digunakan dalam kelas sejak awal 1990-an dan kini semakin
menarik perhatian para ahli pendidikan, sejak munculnya bukti keberhasilan
bukan buah dari kemampuan individu tetapi justru dari paradigma ketergantungan
(interdependensi) Stephen R. Covey,
1997:38).
Vygotsky (1981) juga memandang
pendidikan sebagai usaha sosial. Postulatnya mengatakan bahwa sebelum berbagai
fungsi mental diinternalisasikan, untuk itu harus dimulai dari tahapan
eksternal. Maka dari itu interaksi sosial merupakan petunjuk penting untuk
internalisasi yang bermakna. Teori Piaget (1969) tentang epistemologi genetic
menyatakan pentingnya interaksi dengan teman sebaya sebagai sumber stimulasi
kognitif beserta pengembangannya.
Kesimpulannya, bahwa belajar
kolaboratif merupakan intensitas yang
lebih tinggi kadarnya daripada belajar kooperatif. Secara fisik belajar
kolaboratif tak ada beda bentuk maupun
formulanya dengan belajar kooperatif, yang membedakan terletak pada intensitas
interaksi, isi kegiatan dan implikasi yang ditimbulkannya bagi setiap anggota
kelompok belajar yaitu adanya rasa saling ketergantungan dan tanggung jawab
yang ditopang oleh kemandirian dari setiap individu yang terlibat dalam belajar
melalui interaksi sosial. Semua sifat dan bentuk serta karakteristik belajar
kooperatif merupakan prakondisi belajar kolaboratif.
Mahnaz Moallem (2003:86)
mengidentifikasi 4 (empat) tipe pentingnya kerjasama kolaboratif pemecahan
masalah dalam kelompok yang dirangkum dari beberapa penelitian antara lain:
1) Menumbuhkan tanggung jawab
individu, karena diantara individu menyadari akan adanya tugas-tugas bersama
dalam kelompok.
2) Meningkatkan komitmen pada kelompok
dan tujuan-tujuan bersama dimana anggota kelompok saling bantu-membantu, saling
membutuhkan, memberikan umpan balik yang tepat, dan memberi dorongan untuk
pencapaian tujuan-tujuan bersama.
3) Memperlancar interaksi antar
individu dan antar kelompok di antara anggota kelompok, yang memungkinkan tiap
anggota menampilkan ketrampilan sosial dan kompetensi dalam berkomunikasi.
4) Memberikan stabilitas pada
kelompok sehingga anggota kelompok dapat bekerjasama dengan anggota lain dalam
waktu yang cukup lama tapi tidak melelahkan dan dapat membangun norma kelompok,
penampilan, tugas bersama, dan pola-pola interaksi.
J. Quantum Learning
1. Latarbelakang
Bermula dari sekolah bisnis di Burklyn yang di temukan oleh Bobbi DePorter dan Mike
Hernacki. Mengajarkan pembiasaan belajar nyaman dan menyenangkan, berasaal dari
eksperimen “suggestology” Georgi Lazanov (Bulgaria) yang hampir sama dengan
“accelerated learning”: dengan upaya normal, siswa belajar cepat mengesankan,
gembira: hiburan, permainan, warna, berpikir postif, kebugaran fisik, dan
kesehatan emosional.
2. Strategi Quantum Learning
Quantum Learning menggabungkan sugestologi
akselerasi, program neurolinguistik, dan teori keyakinan. Konsep-konsep kunci
berasal dari teori otak kanan/kiri, teori otak kruine (3 in 1), pilihan
modalitas (visual, auditorial, dan kinestetik), teori kecerdasan ganda,
pendidikan holistik, belajar berdasar pengalaman, belajarnya menggunakan simbol,
dan simulasi / permainan. Manfaat dari Quantum Learning adalah menumbuhkan
sikap positif, peserta didik menjadi termotivasi, menumbuhkan ketrampilan
belajar seumur hidup, dan menumbuhkan kepercayaan diri untuk mencapai
kesuksesan.
Metode Quantum learning menggunakan metode dengan;
1)bersikap positif; 2) belajar pun ditemukan dengan cara belajar sendiri;3)
menciptakan lingkungan belajar; 3) membaca cepat; 4) catatatan efektif; 5)
teknik menulis canggih; 6) berpikir kreatif;7) dan hafalan yang menakjubkan.
3. Modalitas Belajar
Modalitas belajar Quantum
Learning menggunakan metode visual, auditorial, dan kinestetik. Berikut
ciri-cirinya:
|
|
Visual
|
Auditorial
|
Kinestetik
|
|
1.
|
Rapi dan
teratur
|
Bicara sambil
kerja
|
Bicara
perlahan
|
|
2
|
Bicara cepat
|
Terganggu
keributan
|
Banyak
bergerak
|
|
3
|
Teliti detail
|
Jika membaca,
disuarakan
|
Belajar dengan
praktik
|
|
4
|
Mengingat yang
dilihat
|
Sulit tulis,
hebat bicara
|
Menghafal
dengan berjalan
|
|
5
|
Pembaca tekun
|
Bicara fasih
dalam berdiskusi
|
Menunjuk
dengan jari ketika membaca
|
|
6
|
Suka
coret-coret
|
Suka musik,
tapi kurang bisa melukis
|
Gunakan
isyarat tubuh
|
|
7
|
Menyukai seni
rupa
|
Belajar dengan
mendengarkan
|
Tidak dapat
duduk diam
|
|
8
|
Tahu tapi
tidak pandai bicara
|
Lebih banyak
mengeja, kurang menulis
|
Sukar ingat
geografi
|
|
9
|
Memperhatikan
penampilan
|
Bicaranya
terpola.
|
Tulisannya
jelek
|
Dalam lingkungan belajar,
quantum learning menggunakan lingkungan yang nyaman dan santai, sebaiknya dalam
belajar menggunakan musik, cahaya cukup dan cocok, menggunakan visual, penataan
perabot, memperhatikan temperatur, dan
suasana hati.
K. Project-Based Learning
Project-based learning merupakan sebuah model pembelajaran yang
sudah banyak dikembangkan di negara-negara maju seperti Amerika Serikat.
Jika diterjemahkan dalam
bahasa Indonesia, project
based learning bermakna sebagai
pembelajaran berbasis proyek.
Project-based learning adalah sebuah model atau pendekatan pembelajaran
yang inovatif, yang menekankan belajar kontekstual melalui kegiatan-kegiatan
yang kompleks (Cord, 2001; Thomas, Mergendoller, & Michaelson, 1999; Moss,
Van-Duzer, Carol, 1998). Project-based learning berfokus pada konsep-konsep dan
prinsip-prinsip utama (central) dari suatu disiplin, melibatkan mahasiswa dalam
kegiatan pemecahan masalah dan tugas-tugas bermakna lainya, memberi peluang
mahasiswa bekerja secara otonom mengkonstruk belajar mereka sendiri, dan
puncaknya menghasilkan produk karya mahasiswa bernilai, dan realistik (Okudan.
Gul E. dan Sarah E. Rzasa, 2004).
Berbeda dengan model-model pembelajaran tradisional yang umumnya
bercirikan praktik kelas yang berdurasi pendek, terisolasi/lepas- lepas, dan
aktivitas pembelajaran berpusat pada dosen, maka model project- based learning
lebih menekankan pada kegiatan belajar yang relatif berdurasi panjang,
holistik-interdisipliner, perpusat pada pebelajar, dan terintegrasi dengan
praktik dan isu-isu dunia nyata. Dalam project-based learning mahasiswa belajar
dalam situasi problem yang nyata, yang dapat melahirkan pengetahuan yang
bersifat permanen dan mengorganisir proyek-proyek dalam pembelajaran (Thomas,
2000). Pembelajaran berbasis proyek
adalah suatu pendekatan pendidikan yang efektif yang berfokus pada
kreatifitas berfikir, pemecahan masalah, dan interaksi antara siswa dengan
kawan sebaya mereka untuk menciptakan dan menggunakan pengetahuan baru.
Khususnya ini dilakukan dalam konteks pembelajaran aktif, dialog ilmiah dengan
supervisor yang aktif sebagai peneliti (Berenfeld, 1996; Marchaim 2001; dan
Asan, 2005). Berdasarkan pendapat-pendapat tersebut, project-based learning
merupakan strategi pembelajaran yang dikembangkan berdasarkan faham
pembelajaran konstruktivis yang menuntut peserta didik menyusun sendiri
pengetahuannya (Doppelt, 2003). Konstruktivisme adalah teori belajar yang
mendapat dukungan luas yang bersandar pada ide bahwa mahasiswa membangun
pengetahuannya sendiri di dalam konteks pengalamannya sendiri (Wilson, 1996).
Pendekatan project-based learning dapat dipandang sebagai salah satu pendekatan
penciptaan lingkungan belajar yang dapat mendorong mahasiswa mengkonstruk
pengetahuan dan keterampilan secara personal.
Buck Institute for Education (1999) menyebutkan bahwa project-based
learning memiliki karakteristik, yaitu: (a) mahasiswa sebagai pembuat
keputusan, dan membuat kerangka kerja, (b) terdapat masalah yang pemecahannya
tidak ditentukan sebelumnya, (c) mahasiswa sebagai perancang proses untuk
mencapai hasil, (d) mahasiswa bertanggungjawab untuk mendapatkan dan mengelola
informasi yang dikumpulkan, (e) melakukan evaluasi secara kontinu, (f)
mahasiswa secara teratur melihat kembali apa yang mereka kerjakan, (g) hasil
akhir berupa produk dan dievaluasi kualitasnya, dan (h) kelas memiliki atmosfer
yang memberi toleransi kesalahan dan perubahan.
Project-based learning memiliki potensi yang besar untuk membuat
pengalaman belajar yang menarik dan bermakna bagi mahasiswa untuk memasuki
lapangan kerja. Menurut Gaer (1998), di dalam project-based learning yang
diterapkan untuk mengembangkan kompetensi setelah mahasiswa bekerja di
perusahaan, mahasiswa menjadi lebih aktif di dalam belajar, dan banyak
keterampilan yang berhasil dibangun dari proyek di dalam kelasnya, seperti
keterampilan membangun tim, membuat keputusan kooperatif, pemecahan masalah
kelompok, dan pengelolaan tim. Keterampilan-keterampilan tersebut besar
nilainya ketika sudah memasuki lingkungan kerja. dan merupakan keterampilan yang sukar
diajarkan melalui pembelajaran tradisional.
Landasan Project Based
Learning
Kecenderungan abad XXI ditandai oleh peningkatan kompleksitas
peralatan teknologi, dan munculnya gerakan restrukturisasi korporatif yang
menekankan kombinasi kualitas teknologi dan manusia, menyebabkan dunia kerja
akan memerlukan orang yang dapat mengambil inisiatif, berpikir kritis, kreatif,
dan cakap memecahkan masalah. Hubungan “manusia-mesin” bukan lagi merupakan hubungan mekanistik akan
tetapi merupakan interaksi komunikatif yang menuntut kecakapan berpikir tingkat
tinggi. Kecenderungan-kecenderungan tersebut mulai direspon oleh dunia
pendidikan di Indonesia, yang semenjak tahun 2000 menerapkan empat pendekatan
pendidikan, yakni (1) pendidikan berorientasi kecakapan hidup (life skills),
(2) kurikulum dan pembelajaran berbasis kompetensi, (3) pembelajaran berbasis
produksi, dan (4) pendidikan berbasis luas (broad- based education). Orientasi
baru pendidikan itu berkehendak menjadikan lembaga pendidikan sebagai lembaga
pendidikan kecakapan hidup, dengan pendidikan yang bertujuan mencapai
kompetensi (selanjutnya disebut pembelajaran berbasis kompetensi), dengan
proses pembelajaran yang otentik dan kontekstual yang dapat menghasilkan produk
bernilai dan bermakna bagi mahasiswa, dan pemberian layanan pendidikan berbasis
luas melalui berbagai jalur dan jenjang pendidikan yang fleksibel multi-entry-multi- exit (Depdiknas, dalam
Waras, 2007). Pendidikan berorientasi kecakapan hidup, pembelajaran berbasis
kompetensi, dan proses pembelajaran yang diharapkan menghasilkan produk yang
bernilai, menuntut lingkungan belajar
yang kaya dan nyata (rich and natural environment), yang dapat memberikan
pengalaman belajar dimensi- dimensi kompetensi secara integratif. Lingkungan
belajar yang dimaksud ditandai oleh:
1. Situasi belajar,
lingkungan, isi dan tugas-tugas yang relevan, realistik, otentik, dan
menyajikan kompleksitas alami “dunia nyata”;
2. Sumber-sumber data primer digunakan agar menjamin keotentikan dan
kompleksitas dunia nyata;
3. Mengembangkan kecakapan hidup dan bukan reproduksi pengetahuan;
4. Pengembangan kecakapan ini berada di dalam konteks individual dan
melalui negosiasi sosial, kolaborasi, dan pengalaman;
5. Kompetensi sebelumnya, keyakinan, dan sikap dipertimbangkan
sebagai prasyarat;
6. Keterampilan pemecahan masalah, berpikir tingkat tinggi, dan
pemahaman mendalam ditekankan;
7. Mahasiswa diberi peluang untuk belajar secara apprenticeship di
mana terdapat penambahan kompleksitas tugas, pemerolehan pengetahuan dan
keterampilan;
8. Kompleksitas pengetahuan dicerminkan oleh penekanan belajar pada
keterhubungan konseptual, dan belajar interdisipliner;
9. Belajar kooperatif dan kolaboratif diutamakan agar dapat
mengekspos mahasiswa ke dalam pandangan-pandangan alternatif; dan
10. Pengukuran adalah otentik dan menjadi bagian tak terpisahkan
dari kegiatan pembelajaran (Simons, dalam Waras, 2007).
Memperhatikan karakteristiknya yang unik dan komprehensif, model
Pembelajaran Berbasis Proyek (Project-Based Learning) cukup potensial untuk
memenuhi tuntutan pembelajaran tersebut. Model Pembelajaran Berbasis Proyek
membantu mahasiswa dalam belajar: (1) pengetahuan dan keterampilan yang kokoh
dan bermakna-guna (meaningful-use) yang dibangun melalui tugas-tugas dan
pekerjaan yang otentik (Cord, 2001; Hung & Wong, 2000; Myers & Botti,
2000; Marzano, 1992); (2) memperluas pengetahuan melalui keotentikan kegiatan
kurikuler yang terdukung oleh proses kegiatan belajar melakukan perencanaan
(designing) atau investigasi yang open-ended, dengan hasil atau jawaban yang
tidak ditetapkan sebelumnya oleh perspektif tertentu; dan (3) dalam proses
membangun pengetahuan melalui pengalaman dunia nyata dan negosiasi kognitif
antarpersonal yang berlangsung di dalam suasana kerja kolaboratif.
menyimpulkan & membuat laporan proyek). Hal-hal yang disiapkan
dalam PBL: kurikulum, perelengkapan proyek, lingkungan fisik, lingkungan
sosial, dan interaksi aspek-aspek tersebut. Pola ini menunjukan bentuk
aktivitas dalam melakukan penilaian
terhadap mahasiswa. Feedback membantu
dosen dalam menafsirkan
penguasaan mahasiswa tehadap proyek yang telah dikerjakannya. Langkah project-based learning menunjukkan
skenario pembelajaran yang dijalankan.
L. Service Learning
Di dalam aplikasi Service-Learning sebagai sebuah metode pengajaran,
sering timbul pertanyaan apa bedanya Service-Learning dengan community service?
Pertanyaan ini sering muncul karena tema program yang dilakukan adalah
Community Outreach Program (COP) sedangkan metodenya menggunakan
Service-Learning (S-L). Beberapa literatur memberikan panduan bahwa community
service merupakan bentuk pengabdian masyarakat yang tidak didasarkan pada
sebuah disiplin ilmu. Walaupun sebenarnya melalui pengabdian, mahasiswa juga
mampu belajar tentang sesuatu dari kelompok masyarakat yang dilayani, namun
pemahaman pembelajaran ini tidak disadari atau tidak terstrukturkan dalam sebuah
refleksi. Di dalam Service-Learning, model pengabdian masyarakat bertitik tolak
dari sebuah aplikasi ilmu pengetahuan yang dipelajari di dalam kelas untuk
diterapkan di dunia nyata. Bentuk pengabdian ini harus disertai dengan catatan
pribadi yang disebut refleksi untuk memberikan strukturisasi pengetahuan yang
timbal balik antara mahasiswa dengan masyarakat. Mahasiswa memberikan pelayanan
dalam rangka untuk belajar dari kelompok masyarakat, dan sebaliknya masyarakat
menerima pengabdian para mahasiswa dan memberikan pelajaran yang berharga dalam
kehidupan mahasiswa untuk tumbuh. Robert Sigmon (1994) memberikan sebuah studi
sintaksis terhadap kata service dan learning, yang sangat membantu dalam
memberikan pemahaman hubungan di antara dua kata tersebut, dan juga pemaknaan
baru sebagai sebuah istilah baru.
Jadi pengertian kunci dari Service-Learning adalah
membawa “learning” dari dalam kelas menuju ke lapangan untuk memperoleh sebuah
pengalaman, pada sebuah kelompok masyarakat yang membutuhkan “service”, dengan
sebuah siklus pembelajaran yang harus disadari dalam sebuah catatan
refleksi. Service-Learning, penyatuan
pengabdian secara terstruktur dalam kurikulum, dapat dijabarkan sebagai berikut
: Ada kaitannya dengan kurikulum, sehingga sebuah service dilakukan
berdasarkan pada sebuah kemampuan atau beberapa disiplin ilmu yang
mengembangkan tujuan belajar dan memenuhi standard pendidikan dan peka terhadap
perubahan ilmu pengetahuan, ketrampilan dan perilaku yang dapat dirasakan
sebagai proses dalam pengerjaan proyek. Mahasiwa secara mandiri aktif dalam
perencanaan dan pelaksanaan proyek yang menjawab kebutuhan masyarakat. Refleksi dilakukan, sebagai bagian dari proses
pembelajaran yang berkelanjutan untuk menciptakan lingkaran PIKIR-BICARA-TULIS.
Keseimbangan antara tugas pelayanan sebagai aplikasi ilmu dengan refleksi akan
memberikan WAKTU untuk menyadari dampak dari sebuah pelayanan. Service-Learning bukanlah:
Program sukarelawan
Penambahan pada kurikulum pada sekolah bersangkutan
Memiliki syarat pemenuhan sejumlah waktu tertentu untuk kelulusan
Hukuman yang diberikan oleh pengadilan atau sekolah.
Hanya untuk murid SMA atau Universitas
Menguntungkan satu pihak saja: murid atau masyarakat.
DAFTAR RUJUKAN
Ahmadi, K.,Amri,
S.,dkk. 2011. Strategi pembelajaran Berorientasi KTSP.Prestasi
Pustakarya:Jakarta
Gintings, Abdorrakhman
& Zamroni. 2008. Esenesi Praktis Belajar & Pembelajaran. Humaniora:
Buahbatu, Bandung.
Nurdiansah, A.
2010. Komponen Sistem Pembelajaran. (Online).
(http://andinurdiansah.blogspot.com). Diakses
tanggal 3 Februari 2015
Kunandar. 2008. Guru
Profesional: Implementasi Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) dan Sukses
dalam Sertifikasi Guru.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar